SUAKAONLINE.COM – Jam di sebuah stand menunjukan pukul dua lewat empat puluh menit. Warna langit Kampus Hijau mulai menghitam, menuju mendung. Dari sebuah stand sederhana berdinding kain kuning cerah berdiri seorang penari pria berkacamata gelap dan mengenakan kostum hitam pekat. Ditambah aksesoris kukudaan yang didominasi warna hitam dan sedikit polet merah.
Hadi Septiadi mahasiswa anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Jampang (FKMJ) siap mempertunjukan tariannya: Kuda Lumping. Dalam penampilan budaya daerah pada rangkaian kegiatan Asih Dina Hiji Sasih yang digelar Dewan Mahasiswa di halaman Aula UIN SGD Bandung, Kamis (5/3/2015).
“Dung..dreng..dung..dreng..” Alunan musik khas Sunda menjadi pertanda dimulainya pertunjukan. Dengan menunggangi kukudaan, dia meloncat-loncat mengitari penonton seolah menunggangi kuda sungguhan. Didampingi tiga penari wanita, Hadi bak seorang pangeran dikawal para dayang.
Tanpa lelah Hadi terus mempertunjukan tariannya, gerakan demi gerakan dilakukan seolah ada yang membimbingnya untuk tetap bergerak melakukan tarian.
“Selama penampilan berlangsung sang penari kuda lumping tak sembarang mengangkat kaki dan tangan, semua gerakan ada yang menuntun sehingga penari tidak merasa lelah tatkala menari,” ungkapnya kepada Suaka saat ditemui seusai tampil.
Gerakan Hadi bukan sekedar gerak, seringai senyumnya merupakan senyuman mahluk lain yang sengaja diundang lewat mantra khusus yang dibaca sebelum tampil. Pembacaan mantra tersebut harus dilakukan agar roh astral bersedia hadir menari bersama.
“Kuda lumping itu kan memang lebih ke mistik atau kalau bahasa sundanya mah jujurigan. Sebelumnya ada baca mantra atau wirid, kan dalam mistik itu tidak semuanya menyeramkan ada juga yang ngebodornya,” tambah Hadi.
Salah satu penonton, Rifat Maulan menganggap tarian kuda lumping yang kental dengan aroma mistik tersebut ternyata dapat diimbangi dengan tarian para penari cantik. “Tidak terlalu menyeramkan soalnya penarinya cantik-cantik,” ungkap mahasiswa Jurnalistik semester empat tersebut.
Reporter : Tito Rohmatulloh/Magang
Redaktur : Robby Darmawan