SUAKAONLINE.COM, Bandung- Profesi jurnalis bukanlah pekerjaan mudah. Seorang jurnalis perlu kesiapan mental yang tinggi, terutama ketika harus meliput di daerah konflik. Jika tidak, jurnalis berpotensi mengalami trauma.
Hal tersebut diungkapkan oleh dosen Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba), Suci Nugraha saat menyampaikan materi Dampak Psikis Seorang Photografer di Daerah Konflik. Materi tersebut disampaikan pada acara Pameran Foto dan Seminar Foto yang diselenggarakan oleh Keluarga Jurnalistik Unisba, Jumat (29/5/2015).
Jurnalis bisa terkena trauma sekunder maupun trauma yang lebih parah. Trauma sekunder adalah trauma paling rendah yang mungkin akan dialami seorang jurnalis ketika meliput di daerah konflik. Sebagai contoh, seorang jurnalis bisa saja trauma setelah melihat keadaan korban, akibatnya akan bereaksi kaget dan terdiam. “Karena melihat korban, dia akan diam saja,” terang Suci.
Dampak yang lebih parah lagi apabila seorang jurnlis mengangalami trauma di lapangan, Ia akan kehilangan konsentrasinya sehingga tidak fokus dalam meliput ataupun memotret. Tak berhenti samapai disana, seorang jurnalis akan dilema dengan kemampuannya sendiri. Dan yang paling parah adalah jika dampak trauma tersebut terbawa ke kehidupan nyata, akan berdampak luas.
Trauma bukanlah perkara mudah karena ini menyangkut perasaan manusia. Jika trauma tidak diselesaikan dengan segera, maka trauma tersebut akan berkelanjutan dan mengganggu pekerjaan sebagai seorang jurnalis. “Trauma yang tidak selesai akan menjadi titik lemah ketika menghadapi hal yang sama,” tambah Suci.
Reporter : Ridwan Alawi
Redaktur : Isthiqonita