SUAKAONLINE.COM,– Para psikolog sering kali mengalami kegagapan saat menghadapi sidang mengenai pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak. Hal tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, psikologi terkesan menjadi disiplin ilmu yang minder dibanding dengan hukum. Kedua, minimnya nilai keislaman dalam piranti hukum dan perundang-undangan.
Hal itu disampaikan ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel saat mengisi seminar nasional psikologi Islam yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung di Aula Anwar Musaddad, Minggu (2/10/2016).
Menurut Reza, penyebabnya adalah karena psikolog tidak paham hukum, bisa jadi psikolog terkunci dalam ruangan konseling dan terapinya. “Sebagai konsekuensi menjadi warga negara adalah harus mengetahui hukum,” katanya.
Kata dia, psikologi tidak bisa berkontribusi secara baik dalam proses hukum, dan psikologi tidak bisa mewakili kepentingan jutaan anak Indonesia. Misalnya pada kasus Emon, pernyataan dari pelaku dan korban bisa saja membuat pelaku tidak menjadi pelaku dan korban tidak menjadi korban.
Berikut pernyataan seorang anak dalam persidangan. “Emon bilang 20 ribu, tapi saya ngga mau. Dia mau 50 ribu tapi baru bayar 30 ribu,” katanya mencontohkan. Menurut Reza, pernyataan suka atau tidak, mau atau tidak, ikhlas atau tidak yang terucap dari anak-anak tersebut tetap menjadikan mereka sebagai korban. Sebagai psikolog, harus menjadikan undang-undang perlindungan anak sebagai landasannya.
“Setiap orang dewasa yang mengajak anak-anak melakukan kontak seksual pasti menyerang. Dengan demikian anak itu pasti korban. Lupakan uangnya, lupakan masalah keikhlasannya, lupakan mau atau tidak maunya. Maka dipastikan anak itu adalah korban. Pasti korban,” tambahnya.
Reporter : Nolis Solihah
Redaktur: Ibnu Fauzi