SUAKAONLINE.COM – Massa Aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Bandung Raya (Baraya) melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Selasa (26/10/2021). Massa aksi yang datang dari berbagai kampus di Bandung ini menuntut agar tercipatanya pendidikan yang demokratis.
Perwakilan Koordinator Lapangan (Korlap), Izhhari Ichlasul Dwitama menceritakan aksi ini berangkat dari kisah Ari, Presiden Mahasiswa Universitas Inaba. Ari bersama 20 mahasiswa lainnya melakukan aksi kepada kampusnya menuntut diturunkannya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pihak kampus Inaba bukan malah menerima tuntutan atau menyelesaikannya dengan baik-baik, pihak kampus melayangkan skorsing kepada mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
Setelahnya, Ari di DO dari kampus. Izhhari mengungkapkan, bahwa landasan surat DO tersebut tidak jelas. Menurutnya, keputusan tersebut sewenang-wenang. “Kawan-kawan BEM Baraya berangkat dari sana. Dikhawatirkan ketakutan kita sebagai mahasiswa lain yang tergabung dalam bem baraya itu, kampus-kampus kita meniru kebijakan keputusan yang dilakukan Inaba, men-do tanpa dasar,” ungkapnya kepada Suaka, Selasa (26/10/2021).
Massa aksi menuntut berdialog dengan ketua DPRD Jabar. Salah satu anggota Komisi V DPRD Jabar sempat keluar untuk menemui aksi. Namun, massa tetap ingin bertemu dan berdialog dengan ketua DPRD Jabar. Massa aksi yang berasal dari berbagai kampus di Bandung ini, kemudian melakukan barisan revolusi. Mereka hendak merangsek masuk, memecah barikade polisi yang berjaga. Meski sempat memanas, massa dan polisi saling dorong, namun aksi tidak berujung ricuh.
Presiden Mahasiswa Universitas Langlangbuana, Bintang Simbolon menyampaikan kekecewaannya karena ketua DPRD tidak keluar untuk menemui massa aksi. “Kami meminta DPRD sendiri untuk turun. Tapi mereka tidak datang. Jadi tgl 28 kami pastikan, kami bawa massa yang lebih besar, tetap gedor-gedor ini gedung,” pungkasnya.
Menurutnya, saat ini sedang terjadi degradasi kualitas pendidikan. Ia mengungkapkan, meski dilihat dari nilai mahasiswa baik, namun menurutnya intelektualitas mahasiswa belum terpenuhi. “Nyatanya hari ini mahasiswa kalau kita kalkulasikan, betul secara nilai, mereka punya sistem penilaian baru karena online. Tapi ternyata ketika bicara intelektualitas, walaupun subyektif, itu tidak mampu menjawab,” ungkapnya.
Bintang berharap agar kampus benar-benar memiliki demokrasinya sendiri. Artinya, mahasiswa berhak memiliki kebebasan dalam berfikir dan kampus menjadi tempat yang paling nyaman. Menurutnya, kampus merupakan laboratorium untuk melakukan eksplorasi serta realisasi. Makanya penting menurutnya agar demokrasi kampus benar-benar terwujud.
Adapun tujuh poin tuntutan massa aksi adalah, (1) Menuntut kepada pemerintah untuk menghapus pasal dalam Undang-Undang Dikti terkait otonomi kampus karena telah menjadi suatu tembok baru bagi kampus untuk menciptakan peraturan membatasi hak mahasiswa untuk menyampaikan pendapat, yang mana telah mencederai amanat konstitusi negara.
(2) kupas tuntas segaa permasalahan berkaitan dengan sikap sewenang kampus terhadap mahasiswa di Bandung Raya, (3) menuntut pemerintah tidak tutup mata terhadap penyelenggaraan pendidikan dalam hal ini menjaga kebebasan berpendapat di anah akademik demi terciptanya anak bangsa yang kritis dan solutif.
(4) menuntut pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dalam proses pembelajan dalam pendidikan formal agar tercipatanya proses pendidikan yang efektif sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap pendidikan yang telah terabaikan selama masa pandemi, (5) menuntut pemerintah untuk dapat memantau dan memastikan bahwa tujuan pendidikan yang dimiliki negara dapat berjalan sebagaimana mestinya berdasarkan cita-cita negara.
(6) menuntut pemerintah untuk membentuk lembaga baru yang berfungsi sebagai kendali terhadap stabilitas pendidikan dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi, dan (7) menuntut pemerintah untuk menyikapi secara serius serangkaian narasi dan solusi yang ditawarkan oleh massa aksi.
Reporter : Awla Rajul
Redaktur : Fuad Mutashim