SUAKAONLINE.COM – “Cibiru (ke) Cicaheum, Kircon, Soetta, Gedebage, Sapan, Solokan Jeruk, Dangdeur (balik ke) Cileunyi,” sebut Adi saat ditemui di sebuah kedai mie Yamin di Jl. Manisi, Minggu pagi, (29/11/2020).
Kalau sedang tidak shift kerja pagi, biasanya Adi berkelana dengan sepeda kesayangannya di rute-rute tadi. Pandemi Covid-19 benar-benar telah mengubah rutinitas ayah tiga anak tersebut. Bedanya, dulu ia mustahil punya waktu luang untuk bersepeda sesering sekarang dengan kesibukan pekerjaannya.
Adi merupakan salah satu pedagang di kantin ‘tenda biru’ kampus UIN SGD Bandung yang juga bekerja di sebuah pabrik percetakan di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung. Saat masih membantu istrinya berjualan, Adi biasanya cuma punya waktu satu jam setelah dari kantin untuk berangkat lagi ke pabrik saat sore. Tapi sekarang waktu kerjanya lebih fleksibel setelah kantinnya tutup imbas pandemi.
“Dulu masuk sore terus, tapi sekarang kalau masuk sore berarti pagi ya di rumah aja, kadang nyari apa gitu, nyari kegiatan atau jalan-jalan,” ujarnya.
Istrinya pun sama. Sebelum pandemi, di hari kuliah istrinya pasti dari pagi sampai sore berjibaku dengan asap dan arang untuk membuat ayam bakar. Namun sekarang tidak lagi, istrinya memutuskan untuk fokus mengurus pekerjaan rumah tangga dan libur jualan untuk sementara waktu.
Pendapatan Berkurang Signifikan
Bagi Adi, pandemi yang memaksa mahasiswa tidak lagi datang ke kampus membuat sumber pendapatan tambahannya juga ikut libur. Bersamaan dengan ditutupnya kantin, sumber pemasukan sampingan keluarganya tidak ada lagi dan hanya mengandalkan pendapatan dari gaji pabrik. “Tadinya istri ada tambahan penghasilan sekarang jadinya nol, kalau sekarang ya bener-bener semuanya dari hasil (kerja) pabrik,” sebutnya.
Perubahan tersebut jelas sangat terasa, pasalnya kantin mereka punya pelanggan harian yang cukup banyak. Mereka bisa menjual sampai 80 porsi ayam bakar dalam sehari. Dengan harga satu porsi 10 ribu, mereka kehilangan pemasukan rata-rata 800 ribu sehari setelah terpaksa berdiam diri di rumah.
Meski begitu, Adi belum tertarik untuk membuka bisnisnya di tempat baru di luar kampus. Kebutuhan modal besar jadi pertimbangan utama mereka yang memutuskan untuk cuti sejenak. Ditambah lagi sulitnya menggaet pelanggan baru, karena berjualan di kantin,sebut Adi, jauh lebih menguntungkan karena punya pembeli yang sudah jelas yaitu mahasiswa.
Namun Adi bukan satu-satunya yang menanggung rugi. Tulus atau yang akrab disapa Mas Tul juga terpaksa kehilangan pelanggan mahasiswanya. Bedanya dengan Adi, Mas Tul memutuskan membuka lagi bisnisnya di tempat baru. Ia sempat tidak berjualan seperti Adi selama hampir lima bulan dan membantu usaha keluarganya di rumah. Namun sejak pertengahan Agustus gerobak yaminnya kembali dibuka di Jl. Manisi.
Sebelum terdampak Covid-19, Mas Tul bukan hanya menjual yamin tapi juga soto. Gerobaknya bersebelahan dengan lapak milik Adi. Biasa datang saat masih pagi dan pulang sore menjelang maghrib. Sedangkan di tempatnya yang baru, Mas Tul buka lebih siang dari pukul 11.00 siang namun pulang lebih malam pada pukul 21.00.
Efek pandemi terhadap berkurangnya pembeli sangat memukul pendapatannya. Dulu mie yaminnya bisa laku sampai 50 porsi sehari, belum termasuk soto. Dari penjualan sebanyak itu, ia bisa menghasilkan 500 -700 ribu rupiah perhari. Sementara di tempat baru, justru tidak sampai seperempat dari pendapatannya dulu.
“Kalau di sini karena baru tiga bulanan, 20 porsi juga sudah lumayan bagus,” Ujar Mas Tul. Sekalipun menurun drastis, ia menyebut mayoritas pembelinya masih didominasi oleh mahasiswa yang masih berada di kostan dan merupakan pelanggan lamanya. Beberapa ada yang datang langsung dari Cipadung.
Sadar kalau berjualan online berpotensi menguntungkan, Mas Tul kini sudah menjajakan mie yaminnya melalui layanan pesan antar makanan secara online. Tapi tetap saja, pembelinya masih tidak tentu, kadang banyak namun sering juga tidak ada sama sekali.
Meningkatnya Pengangguran
Seperti efek bola salju, pandemi yang mempengaruhi daya beli pada akhirnya turut mempengaruhi naiknya angka pengangguran. Setelah kantin istri Adi tutup, bukan hanya istrinya yang libur tapi juga beberapa karyawannya. Satu pengasuh untuk anak bungsunya terpaksa dirumahkan, begitupun satu guru privat dan dua pegawai yang diperbantukannya di kantin.
Sementara itu, dalam skala yang lebih luas pandemi bertanggung jawab terhadap jutaan penduduk Indonesia yang kehilangan pekerjaannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020 menunjukkan angka pengangguran bertambah 38 persen secara tahunan dan mendekati dua digit.
Dari data di atas jelas terlihat terjadinya peningkatan secara signifikan pada jumlah pengangguran di periode Februari-Agustus 2020. Meski begitu, dampak pandemi sebenarnya lebih besar lagi. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut ada 29,12 juta penduduk yang terdampak secara ekonomi selama penyebaran Covid-19. Dari angka tadi, 24,03 juta diantaranya mengalami pengurangan jam kerja, dan sisanya kehilangan kerja secara permanen maupun berhenti kerja sementara.
Kontraksi yang kuat di bursa tenaga kerja mengindikasikan gejolak pada kondisi perekonomian Indonesia secara umum. Menteri Keuangan, Sri Mulyani seperti dikutip dari CNN Indonesia dalam sebuah konferensi pers awal bulan ini mewanti-wanti meningkatkan kasus kematian akibat Covid-19 akan membuat perekonomian semakin sulit untuk tumbuh. “Semakin tinggi kematian, kontraksi ekonomi akan semakin dalam,” ujarnya Selasa (1/12/2020).
Pernyataan Sri Mulyani sebelumnya merupakan sinyal kuat atas memburuknya kualitas penanganan Covid-19 di Indonesia. Dari data tingkat kematian di atas, Indonesia jadi negara peringkat ketiga di Asia dan pertama di Asia Tenggara dengan jumlah orang meninggal akibat Covid-19 terbanyak.
Sedangkan dari data pertumbuhan kasus harian terlihat adanya peningkatan kasus sejak awal November hingga puncaknya Kamis, 3 Desember lalu yang mencapai lebih dari 8 ribu kasus baru dalam sehari. Sekalipun sempat membaik di bulan Oktober, angkanya tidak pernah berada di bawah 2 ribu kasus positif dalam sehari. Sementara hingga 4 Desember 2020, total kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 563.680 orang dan berada di peringkat 20 dunia sebagai negara dengan kasus terbanyak.
Menanti Kuliah Tatap Muka
Bagi Adi dan Mas Tul, semakin lama pandemi maka semakin lama pula mereka bisa kembali berjualan di kampus. Sekalipun kabar simpang siur tentang wacana kuliah tatap muka telah menyebar, pihak kampus belum pernah melakukan komunikasi apapun dengan para pedagang sejak kampus tutup.
Saat dihubungi via Whatsapp, Kepala Pusat Bisnis UIN SGD Bandung, Aam Abdillah menyebut tidak ada surat edaran khusus yang dikeluarkan oleh pusat bisnis perihal penutupan kantin. Menurutnya edaran untuk libur akademik secara otomatis juga meliburkan para pedagang karena kampus yang sudah sepi. “Pusat bisnis hanya memberikan konsultasi healing untuk menyikapi situasi abnormal akibat pandemi Covid jika mereka (pedagang) datang ke pusat bisnis,” ujar Aam, Kamis (12/11/2020).
Sekalipun wacana perkuliahan offline dijalankan, keduanya tidak banyak berharap kantinnya akan seramai dulu. Karena itu, baik Adi maupun Mas Tul lebih mengharapkan agar pandemi cepat tertangani. Dan tidak terasa kini sudah memasuki bulan ke delapan. Sekalipun belum jelas kapan mereka bisa berjualan lagi, keduanya mulai beradaptasi dengan suasana baru. Adi makin terbiasa karena kondisi serupa pernah dirasakannya sebelum membuka kantinnya di tahun 2016 silam.
“Alhamdulillah, saya masih kerja, jadi balik lagi ke dulu lagi sebelum buka kantin,” tuturnya.
Reporter: Abdul Azis Said/Suaka
Redaktur: Awla Rajul/Suaka