Hukum dan Kriminal

Kisah Kengerian TPPO Myanmar, Belum Ada Restitusi dan Evakuasi Korban Lain

Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Myanmar, Rendra (bukan nama sebenarnya) menyampaikan aspirasinya dalam Aksi Kamisan, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (21/3/2024). (Foto: Mohamad Akmal Albari/Suaka).

Disclaimer : Peringatan: Artikel ini mengandung deskripsi kekerasan dan tindakan kriminal yang mungkin mengganggu beberapa pembaca. Tidak disarankan bagi pembaca yang memiliki kecemasan dan kondisi paskatrauma, pertimbangkan meminta bantuan pihak profesional bila perlu.

SUAKAONLINE.COM – Suara bising kendaraan sepanjang Jalan Diponegoro tak jadi kendala para peserta Aksi Kamisan Bandung untuk menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM) di depan Gedung Sate, Bandung, Kamis Sore (21/3/2024). Menjelang berbuka, Yulia (35) berpakaian serba hitam dengan tegap, di tanganya memegang megafon, bercerita kisah kakaknya yang terjebak di Myanmar menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

”Keluarga kami, dipaksa 15-18 jam kerja, tanpa henti, tanpa libur, setiap hari. Mereka dipaksa bekerja, mereka dipukul, dicambuk, dijemur, hingga disetrum hampir setiap hari. Dalam kondisi seperti itu, keluarga kami dipaksa bekerja. Mereka kehilangan Hak Asasi Manusia, terisolasi di daerah konflik perbatasan Myanmar,” ucap Yulia dalam Aksi Kamisan.

Matanya memerah, ia tetap melanjutkan kisah yang dialami kakaknya. Keluarga korban TPPO selalu mendapat kabar berupa foto-foto luka korban. 1 tahun 4 bulan, kakak Yulia tak kunjung dievakuasi. Selama 15 menit ia berorasi, dilanjut salah satu pemuda korban TPPO Myanmar, Rendra (bukan nama sebenarnya) menuturkan pemerintah yang abai kepada korban.

”Pada saat keluarga saya melapor, dari pihak kedutaan, meminta agar laporannya langsung dari korban. Sementara, di sana, kita kerja diawasi, seperti anjing, jika ditemukan melapor, nyawa kita taruhannya,” kata Rendra.

Saat hendak melarikan diri, Rendra yang memakai jaket coklat itu mengakui tidak pernah ada kunjungan dari keduataan RI di Bangkok kepada korban, hanya janji-janji yang ia dapatkan. Setelah pulang ke Indonesia, pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) luar negeri saja yang membantu para korban.

Aksi yang dimulai pukul 17.30 dan usai ketika azan Magrib dikumandangkan, mendatangkan teman Yulia sekaligus korban perempuan asal Cimahi, Novi (38) menyebrang jalan ke tempat aksi. Peserta aksi berbuka puasa di bibir pedestrian gerbang masuk Gedung Sate. Novi dan Yulia berbincang lama dengan aktivis Kamisan. Hari sudah gelap, lampu Gedung Sate menyala dan menemani cerita Novi.

Tertipu Agen

Mendengar kata Thailand, membuat Novi tergiur oleh biaya hidup murah dan gaji yang cukup. Tawaran kerja sebagai customer service memberangkatkan Novi dan 19 orang lainnya ikut dalam kontrak kerja selama 10 bulan itu. Tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun, tiket penerbangan, Visa, dan paspor ditanggung perusahaan. Novi merasa aneh ketika Visa yang ia dapatkan adalah Visa turis, yang diiming-imingi diganti Visa kerja sesampainya di sana.

Ternyata semua itu adalah tipuan belaka, 20 orang tersebut malah diterbangkan ke Myanmar. Dari Oktober 2022, Novi dipaksa kerja sebagai penipu online (scamming online) melalui platform Facebook dan Twitter. Pekerjaan ini memiliki skema seperti buzzer, setiap orang mengoperasikan HP dengan memegang 20-30 akun Twitter. Targetnya orang-orang yang berdomisili di Amerika Serikat. Para korban diwajibkan mendapat minimal tiga nomor kontak WhatsApp.

Novi kesusahan mencapai target itu, jam kerja juga tidak wajar, 18-19 jam sehari dan istirahat 15 menit, membuat korban kerja paksa yang lain ikut menderita. ”Ada istirahat 15 menit, bener-bener kayak Napi, kalau mau makan, buru-buru, lari-lari. Yang lain lari-lari ke kantin, kita kantor di lantai 5, enggak ada lift. Saya satu-satunya orang yang hampir enggak pernah makan turun ke bawah, karena kaki sakit,” ucapnya.

Pendanaan gratis yang diberikan agen perusahaan kepada para korban terhitung utang yang harus diganti. Novi baru menyadari bahwa perjalanan tersebut adalah tindakan ilegal. Selama 7 bulan bertahan hidup, ia berhasil kembali ke Indonesia pada Mei 2023 lalu.

Bertahan Hidup dari Penyiksaan

Pencapaian target adalah tuntutan kerja para korban sehari-hari. Sanksi jika tidak tercapai bermacam-macam, mulai dari jalan jongkok, lari 20 keliling lapangan, dicambuk, dijemur, push up 500 kali, sampai disetrum. Sesekali, 8-9 orang ditugaskan menghukum untuk satu korban. ”Jalan jongkok banyak yang tumbang. Ada juga push up 500 kali dan bener gak main-main,” jelas Novi.

Perusahaan menyediakan tempat tinggal berupa asrama, dengan kasur tipis dan keras, novi hanya bisa tidur selama 3 jam. Keinginan pulang selalu ada di benak para korban, jalan keluarnya ada dua, yaitu menebus dengan uang atau tukar dengan orang lain. “Minimal 1000 US (United States) dollar, baru bisa pulang. Kalau berupa tuker kepala tuh, beda-beda sih, satu orang untuk satu kepala, kalau saya harus kasih lima kepala,” ungkapnya.

Untuk bisa terus hidup, para korban mendapat adonemen makan di kantin. Menu utama yang disajikan adalah daging Babi. Sebagai Muslim, Novi mengisi energi dengan mengambil sayur-sayuran untuk dimakan. Ia cukup beruntung, orang-orang yang bekerja di kantin itu sering memberikan dirinya makanan.

Merasa tidak kuat dengan kondisinya, Novi dan korban lainnya meminta tolong ke pemerintah, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Mereka dijanjikan menunggu sampai 3 bulan, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya, Novi memberanikan diri membuat video pernyataan solo, memberitahukan keadaan yang dialami oleh para korban di Myanmar.

”Akhirnya kita mogok kerja, video itu tersebar ke Indonesia, ketahuan tuh video itu di IG (oleh bos), dari 20 orang yang awalnya, saya pertama disekap, hari ke-7 kita diculik, 3 orang: 2 laki-laki dan 1 perempuan, saya, masukkin ke salah satu kamar di asrama, disiksa membabi buta, dihajar pipa besi, udah patah, dihajar (lagi) bambu diameter air mineral,” lanjutnya.

Keadaan seperti itu tetap berlanjut dengan dibui dalam dalam sel gelap selama 7 hari dan disetrum agar para korban mau kembali bekerja. Pihak perusahaan menawarkan jika ingin bebas, harus menebus bayaran penyeberangan sungai Moei (perbatasan Thailand – Myanmar) sekitar 16-17 juta rupiah. Namun, apabila tidak membayar, para korban akan dijual ke penadah organ tubuh di Laos.

“Alhamdulillah, ada perintah dari RI 1 (presiden), operasi senyap, kita dievakuasi pihak-pihak terkait, Alhamdulillah kita enggak keburu di jual ke Laos,” tuturnya dengan lega.

Perlunya Restitusi dan Evakuasi WNI

Pasca pulang ke Indonesia, Novi berharap agar para tersangka dan terdakwa yang terlibat dalam agen TPPO ini diberikan hukuman efek jera. Menurutnya, sita aset menjadi tanggung jawab mereka atas hak korban yang dirampas. Selain hukuman penjara, hukuman restitusi itu banyak yang mangkir dan Novi mempertanyakan hal itu.

”Kita nyampe ke Indonesia, bersyukur, hidup masih selamat. Cuma kan tetep tiap hari bingung, aduh gimana ya. Kebutuhan ini itu, kita gak punya pekerjaan. Pulang ke Indonesia pun, dengan beban berat sekali,” katanya.

Di sisi lain, Yulia yang telah terkoneksi dengan lima keluarga korban lainnya meminta agar pemerintah cepat mengevakuasi WNI di Myanmar, terutama korban TPPO. ”Ayo dong pemerintah Indonesia selesaikan, apa nunggu keluarga kita dulu mati, saya rasa pemerintah Indonesia memiliki harga diri. Apalagi negara Myanmar ini sedang konflik tinggi, tidak ada alasan pemerintah Indonesia tidak bisa melindungi dan mengevakuasi warga negaranya di sana?” tegasnya.

Yulia telah mengupayakan ke berbagai lembaga agar suaranya digubris. Dari Pemkot Bandung, Disnaker Kabupaten Bandung Barat, BP2MI Bandung, Polda Jabar, Bareskrim Polri, Kemlu, PWI dan LPSK. Ia dan keluarganya hanya mendapat tanggapan secara lisan, padahal bukti-bukti dan pelaporan sudah jelas.

“Segera evakuasi, enggak ada lagi. Segera pulangkan keluarga kita dengan selamat, apapun jalan keluarnya, diplomasi dan sebagainya, pemerintah yang lebih tahu. Hari ini saya menyuarakan di Kamisan, mewakili dan mengajak keluarga korban, jangan takut bicara, kita harus selamatkan mereka yang ada di sana,” tutupnya dengan tatapan yang serius.

 Reporter: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas