Cerpen

Malam Sajak tak Beranjak

1180913839599785699_1030833076

Oleh: Restu Nugraha Sauqi

Pada sebuah acara rutin mahasiswa sastra di Kota Bandung yang mereka berinama ‘Malam Sajak di Goa Kahfi’ aku menyaksikan seorang mahasiswi berdiri dihadapan puluhan teman temannya yg duduk bersila

Dengan sehelai kertas dilengan kiri dan roko Mild yang baru dia nyalakan ditangan kanannya, perempuan beralis tipis itu mulai membaca sajaknya;

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri

_Aan Mansyur_

Selesai membacakan sajak, seisi ruangan riuh oleh tepuk tangan, siulan dan teriakan, malah ada yang bersorak I love youuu… sambil melambai-lambaikan tangan. Tidak bagiku, tak ada yang spesial dari caranya membaca sajak, baik intonasi, gerak tubuh atau penghayatannya, kecuali tepuk tangan kecil sebagai bentuk apresiasi terhadap Aan sang pembuat sajak.

Seperti malam malam sajak sebelumnya, setelah selesai pembacaan sajak, audience berhak memberikan pendapat, pertanyaan, pernyataan dan penilaian kepada si pembaca sajak. Maka tanpa memperdulikan keriuhan penonton dihadapannya, perempuan beralis tipis itu dengan spontan berkata

“ada yang bertanya?”

“ada yang perlu dikoreksi?”

Seorang pria berkaos hitam dengan gambar bintang berwarna merah berdiri, lalu mengacungkan tangan seraya berkata

“apa yang telah dicuri dari mu?”

“Cinta” perempuan pembaca sajak menjawab enteng.

“Cintamu terlalu mewah, mengundang para maling ingin bereaksi” Tutur sang pria tak mau kalah

Perempuan pembaca sajak matanya mulai berkaca kaca. Dia hisap rokoknya dalam dalam, tanpa sempat dia keluarkan asapnya, dia berkata

“Mewah? Kau murah, Cintamulah yang Murah” asap rokok mengepul dari mulutnya. “Kau jajakan cintamu kepada sekretaris BEM baru, kau tawarkan cintamu pada wanita kemarin sore, kau jual cintamu pada si mata abu. Cintamu adalah komoditi paling laku, dengan alat tukar lugu, wajah sayu, serta simpati dengan sedikit diksi” perempuan pembaca sajak menarik nafas panjang dan menyeka air mata yang terlanjur tumpah membasahi pipi merahnya.

Suasana menjadi hening, seperti ada hujan air es dari setiap sela atap ruangan ini yang mengguyur deras, membekukan darah, melumpukan tulang rusuk dan membuat lidah seisinya kaku terjangkit hipotermia. Aku ikut terpaku menyaksikan dua orang tersebut, bagai menonton pagelaran teater yang menampilkan dua orang kekasih yang sedang meyakinkan cintanya, Keduanya begitu mendalami karakternya masing masing. Kami hanya terperangah menyaksikan.

Rokok ditangan perempuan pembaca sajak hampir habis, tak mungkin lagi dia hisap karena yang terbakar bukan lagi tembakau melainkan busa penyaring. dia buang rokok ditangannya kebawah lalu di injaknya dengan kaki kanan, seraya meneruskan kata-katanya “Cintaku tak mewah, aku ingin mencintai mu dengan sederhana, sesederhana sajak ‘aku ingin’ Sapardi. Menghapuskanmu dari sebutan ‘sofi-sme’ yang memandang kebenaran hanya relatif, lalu menjadikanmu ‘semesta’ yang terus ku fikirkan layaknya para filosof yunani kuno meletakan semesta sebagai satu satunya objek fikir sehingga menjadi fase kosmosentris. Yah,.. itu lah cintaku, yang kini telah kalian curi dariku”

Melihat perempuan pembaca sajak berlinang air mata, sang pria berkaos hitam melangkah dari kerumunan audien mendekatinya. Pandangannya menggambarkan keharuan dan ke-ibaan mendalam, langkahnya seperti melukiskan kerinduan. Mereka kini begitu dekat, hanya terpisah beberapa langkah saja.

“Zula hapus lah air matamu, tidak ada yang dicuri darimu, tidak ada yang berusa mencuri cintamu. Aku tahu keinginanmu mencintai dengan sederhana, tapi keinginan dan usaha untuk mencintai secara sederhana itulah yang menjadikan cintamu terkesan glamour, mewah, tak alami dan egoistis. Merasionalisasikan cinta sebagai ‘semesta’ layaknya fase kosmosentris para filosof yunani, tak lain adalah bentuk kecintaanmu yang egoistis. Bukankah para filosof juga tak hanya memikirkan semesta? Tapi juga berusaha memikirkan manusia lain (antroposentris)? juga tentang ketuhanan (theosentris)?”

“Egoistis itu juga lah yang menyempitkan perspektifmu tentang cinta. Cinta yang kau pandang hanyalah menjadi hasrat kepada lawan jenis belaka. Jika dianalogikan cinta menurutmu hanyalah sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa ruang, hanya satu ruangan saja yang berisi cinta. Ruangan lain yang berisi tentang ekonomi, pendidikan, budaya dan politik. Menjadi terasing satu sama lain”

“Karena itulah sukar sekali kita melihat bahwa pukulan, jeweran dan bentakan seorang ayah adalah bentuk dari cinta pada anaknya. Gagal menafsirkan Demonstrasi mahasiswa yang ricuh dan mogok kerja  para buruh adalah bentuk cinta mereka pada negeri. Cintaku tak menjadi komoditi, aku memberinya secara sukarela pada sekretaris BEM, pada wanita kemarin sore, kepada si mata abu dan juga pada dirimu” laki laki berkaos hitam semakin dekat dengan perempuan pembaca sajak, tangannya diayunkan berusaha meraih dan ingin menggenggam tangan perempuan pembaca sajak

“Jangan kau kotori tanganmu itu” perempuan pembaca sajak menjauh beberapa langkah dari pria berkaos hitam, wajahnya semakin sembab. Air mata makin deras berjatuhan dari ujung kelopak matanya. Dengan nada tinggi penuh luapan emosi perempuan pembaca sajak berkata “Jangan kau dekati wanita egois sepertiku ini. Akulah wanita egois yang hanya ingin satu-satunya kau cintai. Akulah wanita yang cintanya takmau dibagi secara sukarela pada sekretaris BEM, pada wanita kemarin sore, kepada si mata abu. Sekarang,.. biarkan aku pergi dengan keegoisan cintaku” perempuan pembaca sajak melangkah membelah kerumunan audience.

Ditengah tengah belahan jalan audien perempuan pembaca sajak berhenti, membalikan badannya kembali pada pria berkaos hitam lalu berkata. “Aku sadar, bukan mereka yang mencuri, tapi kau yang sengaja membagi” perempuan pembaca sajak lalu lari meninggalkan ruangan ditelan pintu depan yang masih bergoyang.

Seisi ruangan masih hening. Pria berkaos hitam masih mematung menyaksikan perempuan pembaca sajak lari meninggalkan ruangan, lidahnya kaku tak kuasa mencegah. Kini pandangannya mulai terlihat kosong, raut mukanya menggambarkan kesedihan mendalam. Dengan muka tertunduk dia mulai melangkah membelah audien, lalu hilang dibalik pintu depan ruangan.

Aku masih tak beranjak dari ruangan ini, muncul beberapa pertanyaan dalam hati, “Mungkinkan ini merupakan bagian dari pementasan malam sajak di goa kahfi, yang telah direncanakan sebelumnya? Ataukah memang dua orang ini betul betul sedang berselisih dan telah saling mengenal sebelumnya? Ah, entah lah. Yang jelas aku baru saja menyaksikan pementasan teaterikal kehidupan yang mengajarkanku banyak hal, terutama cinta, dibuat dan disutradarai oleh Yang Maha pembuat pementasan”. Aku masih bersandar didingding ruangan ini terus merenungi kejadian tadi. Terus ku ingat setiap bait percakapannya, sampai aku tak sadar seisi ruangan kini telah kosong, hanya tinggal aku belum beranjak

Aku harus segera beranjak dari ruangan ini, jika aku tak beranjak dari malam sajak, aku hanya akan terjebak pada romantisme mereka dan akan terus terjebak juga dalam kesedihan mereka. karena aku disini bukan hanya untuk menonton pementasan, tapi juga sebagai lokon dalam sebuah cerita panjang. Mari segera beranjak dari malam sajak,…

*Penulis adalah mahasiswa UIN Bandung yang suka nongkrong di Gazebo Kantin

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas