Oleh Muhamad Faisal Al’ansori*
Kemarau panjang yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia tahun ini lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tak ayal, beberapa daerah dilanda kekeringan dan krisis air, wilayah termasuk Bandung Raya. Air barangkali menjadi barang langka saat kemarau tiba.
Krisis air hingga harus mencari sumber air dengan menempuh jarak puluhan kilometer belum pernah dialami warga RW 09, Kelurahan Pasirbiru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Pasalnya di sana terdapat sumber air yang masih terjaga dengan baik.
Sumber air Cai Mandor, Cikuda, Ciburial, dan Ciniwung adalah sumber air yang masih bertahan hingga sekarang. Saat kemarau tiba seperti sekarang ini, warga sekitar masih bisa menikmati air yang didapat langsung dari alam.
Keberaadaan sumber air ini sebenarnya tidak mengherankan. Dulu, sebelum 1980, di wilayah Kecamatan Cibiru dan sekitarnya terdapat banyak sumber air. Letak geografis yang berada di kaki Gunung Manglayang mendukung ketersediaan pasokan air bawah tanah. Selain itu, dulu masih banyak tumbuh pepohonan seperti bambu, beringin, dan koang.
Kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga serta merawat sumber air turut memberi andil terhadap kelestarian lingkungan. Sumber air Cai Mandor yang berada di RW 09 contohnya. Sejak 2012, warga sekitar membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Fungsinya yaitu mengelola secara teratur pemanfaatan air agar dapat dinikmati warga.
Meskipun debit air surut seperti kemarau saat ini, namun ketersediaan air tidak pernah mengering dan tetap mengalirkan manfaat ke sekitar 50 kepala keluarga. Di daerah lain, diberitakan ada warga yang harus mengeluarkan rupiah hingga ratusan ribu untuk mendapatkan air bersih. Namun, di sini pengelola KSM hanya memungut iuran Rp. 20.000 setiap bulan untuk uang jasa. Sangat murah !
Spirit gotong royong masih dipegang oleh warga setempat. Kesadaran mengenai pentingnya memahami air sebagai kebutuhan hidup juga masih tertanam kuat. Beberapa bulan ke belakang, mereka membuat pembuangan saluran air Cai Mandor secara sukarela. Selain itu, warga setempat melakukan bebersih secara berkala dengan cara memunguti daun pohon Koang yang jatuh dan mengotori sumber air. Mereka juga berkomitmen kuat untuk tidak menebang pohon koang yang berdiri kokoh dan memayungi sumber air. Sumber air ini sudah ada sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda.
Kontradiktif
Kenyataan kontradiktif terjadi di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari sumber air Cai Mandor. Di sekitar masjid kampus terdapat sumber air yang digunakan untuk pengairan di masjid. Dulu, pada 1950, sumber air tersebut pernah dimanfaatkan oleh warga sekitar kampus untuk hajat hidup sehari-hari. Namun, saat kemarau sekarang, kolam sumber air tersebut mengering, sehingga pada waktu tertentu, sivitas kampus yang akan wudhu harus antre karena air yang keluar dari keran sangatlah minim.
Pasokan air menyusut seiring dengan pembangunan masif di dalam kampus. Tanah di dalam kampus yang dulu pernah ditumbuhi pohon bambu dan albasiah, kini telah berubah menjadi tanah beralaskan beton. Air yang seharusnya meresap di ke dalam tanah mengalir menuju dataran rendah dan menimbulkan genangan.
Spirit gotong royong yang masih dipegang oleh warga Pasirbiru nampaknya sudah banyak ditinggalkan saat berbicara sebuah kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya mengenai lingkungan. Di luar sana penulis meyakini masih saja ada orang yang mementingkan diri sendiri maupun kelompoknya dengan alasan ekonomi. Namun, warga RW 09 Kelurahan Pasirbiru bisa membuktikan jika spirit gotong royong mampu menghadirkan kemaslahatan.
*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Suaka periode 2014-2015