Aspirasi

Menulis sebagai Jalan Mengawal Realita Sosial

Oleh Anisa Dewi Anggri Aeni*

Sumber: pixabay.com

Menulis merupakan media dalam mengawal realita sosial. Melalui kata-kata atau kalimat dengan nada mengkritisi, menghadapi fenomena sosial, kita turut menyumbang pemahaman bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja kompleksitas yang mencuat sebagai inspirasi untuk menuangkan gagasan.

Sebagaimana kata  Pramoedya Ananta Toer “Orang boleh pandai setinggi langit  tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah.” Diperkuat dengan kutipan yang tidak asing dari Al Gazali “Jika kau bukan anak raja, jika kau bukan anak ulama besar maka jadilah penulis.” Menulis juga sebagai jalan untuk menyuarakan keabadian atau cara untuk melakukan perubahan.

Nasihat klasik yang memang benar adanya, jika ingin piawai menulis banyak-banyaklah membaca sebab menulis dan membaca saling berelasi. Selain dengan membaca tentu saja dengan latihan. Bila membaca hanya sekadar membaca tanpa diimbangi latihan maka bakal bersua dengan lupa.

Harris Effendi Thahar dalam bukunya Kiat Menulis Cerita Pendek, dengan banyak membaca karya-karya yang ada, informasi-informasi yang kian mengasyikkan itu dapat pula menimbulkan keinginan untuk selalu dekat dengan bahan bacaan. Buku-buku sastra atau bukan, karya asli maupun yang asing telah dibaca seseorang tentu juga memberikan kontribusi sikap kritis yang akhirnya timbul sikap memilih bacaan.

Klausa ‘Berani mengkritisi berani memberi solusi’ memperlihatkan bahwa jelas pemerintah mangkir dari tanggung jawabnya selaku pelayan masyarakat. Mestinya setiap ada aspirasi atau kritikan yang ditujukan padanya, mereka memberi solusi bukan meminta. Menurut Rocky Gerung pekerjaan kritik itu sebagai kontrol dan pemerintahlah yang harus mencari solusi.

Semacam lonceng dalam kepala untuk otokritik demi kehidupan yang mencerdaskan bangsa. Nalar kritis pun akan terpelihara dengan terus mengasah melalui kata demi kata dalam tulisan. Sebab pada hakikatnya kritik itu tak perlu disertai solusi.

Semua realita adalah fakta yang terjadi setiap saat dan di mana saja. Sebagaimana fotografer yang mengabadikan dalam jepretan berupa gambar, menulis merupakan bentuk lain dalam mengekalkan peristiwa. Sebagai fotokopi realita atau realitas obyektif.

Lagi-lagi menulis adalah jalan yang bisa dilakukan setiap insan untuk bisa menumpah ruahkan segala kekesalan dan  keresahannya  selama hidup. Fenomena yang begitu mengerikan bisa dijadikan produksi wacana kritis untuk menuntun kembali pada pemikiran yang menyimpang akibat gempuran dan realita dari opini publik dan framing media yang itu-itu saja.

Menulis dalam hal ini yang mengarah pada perubahan konteks sosial artinya berani menyampaikan kebenaran. Sebagai sikap dalam terus-menerus memelihara kekritisan atas ketidakadilan sosial yang terjadi. Tidak bisa memungkiri, menulis membawa dampak yang besar seperti revolusi melalui propaganda berupa narasi-narasi yang di kemas sedemikian rupa. Menulis kerap memicu timbulnya inspirasi atau gerakan yang mencerahkan hingga seluruh sudut dunia.

Selain sebagai proses mengabadikan konteks sosial, bahkan menjadikan tantangan atas media mainstream yang sekarang sudah sangat horizontal. Terlebih pemberitaan-pemberitaan yang mengabur, mengutamakan clickbait dan viewers.  Pemberitaan yang tersebar bukan mengangkat hal positif atau prestasi yang  melingkupinya tapi sesuatu  yang memicu kontroversial.

Maraknya clickbait di era milenial yang terus saja memborbardir publik dengan limbah informasinya yang tak bisa dicegah. Meski, pemblokiran dilakukan oleh pemerintah tetap belum cukup untuk membendung kabar-kabur. Digital literasi, lahirnya media alternatif untuk meng-counter hoax sebagai solusi sementara ini.  Di satu sisi pemblokiran menghabiskan kucuran dana yang tidak sedikit, mencapai ratusan milyar sayangnya masih belum mampu menutup berita hoax yang terus meracuni otak.

Salah satu jalan penawarnya dengan cara menulis. Walaupun merawat budaya menulis teramat susah apalagi tak ada tekanan dari pihak mana pun, sebab ini bukan tuntutan dan bukan pekerjaan. Goenawan Muhammad pernah mengatakan gemar membaca adalah kebahagiaan. Maka itu menjadi stimulus untuk merangsang gairah menulis. Memulailah sejak dini berkontribusi mengawal situasi, pun kalau tidak minimal  sebagai upaya untuk membangun sejarah diri sendiri.

 

*Penulis adalah mahasiswi Sastra Inggris 

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas