Cerpen

Nyai yang Menyusui Kelelawar

Ilustrasi: Hamzah Ansrulloh/Suaka

Oleh: Fahrus Refendi*

Ustad Musleh berjalan ringkih, “Bagaimana nasib langgar kita nanti?,” ucap Ustad Musleh dengan wajah kusam. Kursi yang berada di kolong meja perlahan ditariknya. Tak ada jawaban apalagi sanggahan. Nyi Sanah tetap tak bergeming, ia tetap memandang dalamnya kegelapan jauh di belantara riuhnya air laut.

 “Entahlah, Pak!” tiba-tiba suara istrinya  mengagetkannya. Perlahan suasana menjadi hening. Mereka saling bertukar pandang. “Apa ia kita harus mempunyai anak lagi sebagai penerus keturunan yang akan mewarisi langgar sangkolan kita itu,” Nyi Sanah berdiri lalu mengambil air di ceret plastik. Telah lama keduanya mengidamkan anak laki-laki sebagai penerus tahta keluarga. Sebagai keluarga kiai, anak laki-laki lah yang dipandang mampu menyetir jika ada musyawarah penting antar sanak saudara.

Usia perkawinan yang telah menginjak 25 tahun, tapi yang diharapkan keduanya masih belum hadir juga. Barangkali ini cobaan atau ujian kesabaran dari Tuhan. Kelima anaknya terlahir sempurna tapi tak satu pun laki-laki. Kekhawatiran mulai terasa bukan hanya soal keturunan melainkan usia keduanya sudah tak lagi muda untuk punya anak lagi.

Langgar sangkolan yang berdiri di atas tanah berpasir dan berhalamkan lautan lepas itu merupakan wasiat dari Mbah Bahrawi kepada Ustad Musleh dan Nyi Sanah, mereka berdua dimandatkan untuk memperbaiki sifat umat.

“Jadikan langgar ini sebagai penyembuh umat, aku akan memilih diantara kalian siapa yang akan menggantikan aku untuk mengasuh langgar ini. Kuharap siapapun yang terpilih nanti akan mampu membantu kemashalatan umat dan ikhlas memberikan pengajaran pada anak umat,” tukas Mbah Bahrawi sebelum kematian hinggap padanya.

Malam itu di luar rumah rintihan genting dan seng gaduh menerima nikmat dari Tuhan. Cipratan air yang jatuh di selokan, gaungan katak  serta  debur ombak bersahutan jadi satu alunan. Malam yang pelik bagi semua anak Mbah Bahrawi. Malam itu semuanya berkumpul.

Sebelum malaikat maut menarik nafasnya, magap-magap suara Mbah Bahrawi, semua anaknya berkumpul beserta para istri dan cucunya. Lincak dengan ornamen ukiran naga yang menjulurkan lidahnya menjadi tempat Mbah Dulawi dibaringkan.

“Siapa dari kalian yang siap aku warisi langgar ini,” tukas Mbah Bahrawi. Seketika seisi rumah  kaget mendengar ucapan abahnya. Saling pandang satu sama lain. Kebingungan terpancar dari raut muka anak-anaknya. “Usiaku barangkali tidak akan lama lagi,” lanjutnya. Semuanya tertunduk.

Sejurus kemudian, anak sulungnya angkat bicara berusaha memecah keheningan. Kembali batuk terdengar memekikkan telinga. “Saya selaku anak yang paling tua ingin mengusulkan bagaimana jika langgar sangkolan itu saya pasrahkan sepenuhnya ke abah. Siapapun yang ditunjuk maka kami selaku anak akan menerima segala keputusan.” Mbah Bahrawi hanya memalingkan wajahnya. Sementara kabut kebingungan masih menyelimuti.

“Ambil kertas dan pensil,” tiba-tiba Mbah Bahrawi angkat bicara. Secepat mungkin Ustad Musleh berdiri dari lincak yang ia duduki. “Sobek kertas itu… Dan isikan nama kalian” semuanya hanya mengangguk-ngangguk, tak tahu apa yang akan Mbah Bahrawi lakukan. Dipegangnya gelas plastik, “Masukkan kesini,” lanjutnya, sambil menyodorkan gelas plastiknya.

Kembali batuk terdengar dari mulutnya. Dengan sisa tenaganya Mbah Bahrawi pergi ke belakang dengan peci dan surban yang masih melekat pada tubuh kurusnya. Beberapa saat kemudian lalu dia angkat bicara.

“Hati-hati dengan sangkolan, Bicarakan baik-baik. Jangan mengambil hak yang sudah dibagi karena itu tulah. Sekarang siapapun yang namanya keluar dari  lintingan ini maka dia lah yang akan menerima sangkolan langgar ini,”

Entah apa yang dibaca, mulutnya komat-kamit. Diambil lah gelas itu… Tak lama satu lipatan kertas terjatuh dari gelas. Diambilnya. “Musleh!” suara seraknya terdengar.  Semua mata tertuju padanya. Ustad Musleh hanya menunduk. Tak berselang lama lipatan kertas kembali dilintingnya dan kembali nama Ustad Musleh yang keluar dari dalam gelas. Lagi dan lagi sebanyak tiga kali. Semenjak malam itu Ustad Musleh resmi mewarisi langgar sangkolan itu.

***

Pada hari yang mulai panas matahari bersinar pas di atas ubun-ubun saat Nyi Sanah keluar rumah. Sementara suaminya ngajar di Madrasah, berjalan menembus panas yang menyengat ke arah timur. Ladang garam dan tambak udang ia lewati, sebenarnya perasaan takut menghinggapinya, tapi ketakutan itu telah dikalahkan oleh keinginan yang terus minta dipenuhi. Setelah berjalan cukup lama, cucuran keringat mulai membasahi tengkuknya.

“Mau ke mana?,” tiba-tiba suara itu memekikkan telinga, sejurus kemudian Nyi Sanah memalingkan tubuhnya.

Seorang perempuan paru baya berdiri di depannya dengan kerudung lusuh dan bajunya yang kumal.

“Saya mau ke rumahnya Nyi Tenni, di mana ya?,” balas Nyi Sanah. Mata tajam perempuan di depannya menerawang  ke sekujur tubuh. Perasaan Nyi Sanah diliputi ketakutan.

“Masuklah ke dalam rimbunan pohon tinjang itu, di sana lah ia bermukim!” sambil mengacungkan jari tangannya ke depan.  

Apa tidak salah, masak ia rumahnya di rimbunan pohon tinjang… hati Nyi Sanah bergumam sendiri.

 Sebenarnya desas-desus Nyi Tenni sudah ia ketahui dari orang-orang. “Konon, jauh sebelum kita lahir Nyi Tenni sudah ada di tempat ini,” teringat ucapan Sanima dulu. Sebelum ada bidan di kampung ini orang yang mau melahirkan akan membawa ke tempat Nyi Tenni. Anehnya setiap sepulang persalinan, para orang tua tidak membawa pulang ari-arinya, mereka percaya Nyi Tenni lah yang memakannya, makanya sampai sekarang dia masih hidup. Awet muda.

Proses persalinan yang cepat dan tidak terasa sakit, moro-moro si jabang bayi keluar begitu saja. Tapi sebelum  melahirkan, si orang tua bayi harus meminum ramuan yang telah diberikan oleh Nyi Tenni. Setelah itu kembali tengadah dan tak lama menunggu, suara tangisan bayi pun akan terdengar.

Kesaktian dan keanehannya itu sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bagi penduduk kampung, kerap para orang tua menakut-nakuti anaknya semisal ketika anaknya tidak mau makan, tidak mau mandi, dan malas mengaji para orang tua akan bilang “Nanti ada Nyi Tenni loh” Anak-anak baru takut.

Gunjingan lain dari Nyi Tenni yang beredar adalah suatu hari  di mana saat laut sedang surut,  surutnya air laut menjadi berkah tersendiri bagi penduduk pesisir, ada yang mencari kerang, kepiting serta udang sampai matahari mulai bergelayut dan menimbulkan warna kekuning-kuningan di  ufuk barat.

Orang-orang berduyun-duyun laki-laki maupun perempuan ke laut sampai pada adzan magrib berkumandang. Tapi, sore itu Pan Dadang masih terus mencari kerang hingga hampir gelap, fokus pada apa yang ia cari, kepalanya terus merunduk tak mengindahkan bahwa hari sudah mulai petang.

“Waduh… perasaan tadi masih banyak orang kok tinggal saya sendiri,” gumam Pan Dadang dalam hati. Buru-buru dia berkemas sebelum hari mulai gelap. Diangkatlah bak warna birunya melangkah menyusuri jajaran pohon tinjang. Gugusan awan menjadi saksi lelapnya cahaya sore hari.

Awalnya Pan Dadang acuh tak acuh pada cericit suara yang memekikkan telinganya, ia tetap saja berjalan. Tapi lama kelamaan suara itu kian mengundangnya untuk menanyakan apa yang terjadi. Menoleh ke sekitar. Kepalanya ditengadahkan. Sekawanan kelelawar terbang mengitari rimbunan pohon tinjang, berputar-putar, sesekali terdengar juga suara rengekan. “Pada mau ke mana kelelawar-kelelawar ini,” pekiknya.

Langkah kasarnya ia lembutkan. Sorot matanya tetap awas mengelilingi sekitar. Kelelawar-kelelawar yang terbang tinggi mulai turun dan tampak berkumpul di atas jejeran pohon tinjang. Makin lama makin sedikit yang terbang. Ternayata kawanan itu mulai masuk ke dalam rimbunan pohon tinjang. Suara cericit makin memekikkan telinga Pan Dadang dan perlahan ia membungkukkan tubuhnya, menerabas gugusan pohon yang keras akarnya itu.

Tiram yang melekat pada akar pohon tinjang memberi isyarat bahwa ia harus hati-hati dalam melangkah. Kubangan air dan lumpur sesekali menghambat langkah kakinya. Terus melangkah hingga ke dalam rimbunan pohon tinjang itu. suara cericit dan desahan semakin santer terdengar. Perlahan-lahan hal yang membuat Pan Dadang penasaran semakin menemui titik terangnya. Gerombolan kelelawar-kelelawar itu mulai terlihat.

Tak lama setitik cahaya bergerak dari kejauhan lalu berhenti di bawah pohon tinjang yang paling besar. Sejurus kemudian Pan Dadang menjongkokkan tubuhnya. bersembunyi di balik akar pohon tinjang. Sesosok perempuan itu kemudian maju dengan obornya, membuka sanggul yang tergelung di kepalanya. Sementara cericit bunyi kelelawar semakin nyaring terdengar.  Obor yang di pegang perempuan itu diletakkan pada sela-sela akar tinjang.  Entah apa yang terlontar dari mulut perempuan tua itu, kata-katanya tak dapat ia mengerti.

Pan Dadang mengernyitkan dahinya…. Seakan-akan tak percaya terhadap apa yang ia lihat. Perempuan tua itu kini melangkahkan kakinya dan membuka kebaya yang dipakainya. Setelah pakaian tandas dari tubuh itu kemudian ia rentangkan kedua tangannya, segera saja kawanan kelelawar menyerbu tubuh kumal tersebut. Berkerubung diantara kedua puting susunya, mereka layaknya pengembara yang kelaparan. Begitu rakus menyesap puting-puting susu pemberi sumber kehidupan bagi koloni kelelawar hitam.

Melihat kejadian itu sontak membuat hati Pan Dadang gugup. Berbalik ke belakang. Dan lari sekencang-kencangnya tak memperdulikan tiram yang menggores betis dan telapak kakinya.

Berteriak sekencang-kencangnya di jalan desa meski napasnya ngos-ngosan, “Nyi Tenni menyusui kelelawar,” ucap Pan Dadang “Gawatttttt… gawatttt.” Teriak Pan Dadang pada suatu sore.

***

Tanpa sadar Nyi Sanah sudah berada di ambing pintu. Rindang dan sejuk menerpa kulit. Matanya menyorot ke seluruh gubuk tua itu. Rumah beratap jerami dan di tiap tiang-tiangnya menempel dua buah lentera. Nyi Sanah tepat berada di depan pintu, bimbang lanjut masuk atau balik pulang. rasa gundah menyerang isi kepalanya. Cukup lama berdiri, lalu datnglah setitik cahaya mendekat kearahnya dari dalam gubuk tua itu.

“Rupanya ada tamu, masuklah jangan sungkan-sungkan cah ayu,” berat Nyi Sanah  melangkahkan kakinya. Tertegun sesaat sebelum tanpa sadar ia menuruti perkataan perempuan yang memegang lentera tadi. “Duduklah,” perlahan Nyi Sanah duduk di amper yang beralaskan tikar dari daun lontar.  “Ada perlu apa kau datang kemari, Nak?” tutur Nyi Tenni kemudian.

Hening tatkala Nyi Tenni melontarkan kata-kata yang membuat hatinya bimbang, “Sa…sa…saya kepengin punya anak laki-laki, Nyi!. Saya sebagai perempuan merasa gagal bila tidak melahirkan seorang anak laki-laki,” suaranya terdengar terbata-bata di teling Nyi Tenni. Sejurus kemudian terdengar gelak tawa memancar dari kedua bibir Nyi Tenni. Berdiri lalu melangkah ke bilik, tak selang beberapa lama Nyi Tenni keluar dengan memegang sesuatu dengan kedua tangannya.

“Minumlah dengan sekali tegukan.” Dipegangnya cangkir beling itu. sesaat sebelum cairan itu memenuhi rongga tenggorokannya tercium aroma perpaduan: rempah, melati, kenanga, tapi  lebih dominan aroma amis yang memekikkan hidungnya. Diminumlah ramuan itu, meski beberapa kali menguap. Kembali gelak tawa terlontar dari kedua bibir Nyi Tenni. Nyi Sanah dipandanginya dan perlahan tubuh Nyi Tenni mendekatinya.

Kepalanya mendekat ke arah telinga Nyi Sanah. “Kembalilah besok sore, bawa kebaya warna hijau.” Suara itu mengalun sayu di kuping Nyi Sanah.

***

Kebaya warna hijau tersimpan baik di lemari. Ia tidak pernah memakai sekalipun kebaya maskawin itu. pikirannya mengawang membayangkan tangisan bayi laki-laki berada dalam gendongannya. dilucuti kebaya dari tempat semayamnya, rambutnya tergelung rapi. Lalu dipakainya kebaya itu.

“Kau tetap cantik meskipun tanpa memakai kebaya itu,” tiba-tiba saja suara suaminya mengagetkan. Menoleh ke arah belakang, rupanya Ustad Musleh telah berdiri di balik pintu yang tertutup gorden. Lalu, Ustad Musleh melangkah perlahan dan duduk di ranjang, sementara Nyi Sanah duduk di kursi dengan kaun kebaya masih menempel di tubuhnya. Senyum merekah di bibirnya.

Seperti biasa jika siang tiba suaminya berangkat mengajar di salah satu sekolah madrasah dan pulang setelah hampir adzan maghrib. Dibungkus lah kebaya hijaunya dengan kresek hitam setelah suaminya berangkat. Matahari mulai bergeser ke ufuk barat, tandanya Nyi Sanah harus bersiap-siap.

***

Jangan biarkan perempuan itu lolos, cari dia.Suara itu begitu gaduh.

“Perempuan laknat, penyihir, sesat.” Umpatan demi umpatan terlontar dari mulut rombongan yang memenuhi gubuk tua Nyi Tenni. Sontak Nyi Sanah menghentikan derap langkahnya untuk menuju ke gubuk itu.

“Apa yang terjadi, Nyi Tenni tidak salah, dia orang baik.” Gumam dalam hati Nyi Sanah. Ia hanya bisa menyaksikan kejadian itu dari balik pohon tinjang yang menjulang.

“Seret dia keluar. Dasar perempuan terkutuk.Pintu gubuk itu dibuka secara paksa, semua rombongan memenuhi halaman, beberapa orang masuk ke dalam gubuk. Tak lama Nyi Tenni telah berhasil mereka seret. Di seretnya tubuh ringkih perempuan tua itu ke halaman. Betapa tak disangka di dalam dada Nyi Sanah sebelumnya, yang paling depan dan yang menyeret tubuh Nyi Tenni adalah suaminya sendiri.

“Bakar saja perempuan ini” teriak yang satu

Ia bakar sajateriak yang lain,

Tiba-tiba, secepat angin koloni  kelelawar muncul begitu saja dari sela-sela pohon tinjang mengerubungi rombongan itu, cericitnya mengalahkan suara rombongan. Sontak orang-orang yang mau menghakimi Nyi Tenni terkejut dengan kehadiran mahluk menjijikkan itu.  dengan langkah terbata-bata Nyi Sanah membalikkan tubuhnya dan lari sekencang mungkin keluar dari rimbunan pohon tinjang itu tanpa memperdulikan kebayanya yang jatuh di lumpur laut. Sementara suara yang mirip teriakan dan cericit kelelawar terus saja bergaung memenuhi rongga di telinganya.

*Penulis merupakan Mahasiswa Bahasa & Sastra Indonesia Universitas Madura. Menulis puisi, cerpen, cernak, carpan serta beberapa karya resensinya telah dimuat di beberapa media cetak maupun online.

1 Comment

1 Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Ke Atas