Featured

Pertahankan Warisan Leluhur Ala Suku Badot

Dok. Pribadi

Dok. Pribadi

SUAKAONLINE.COM, Bandung-Eksploitasi kawasan pegunungan kapur di bentangan Desa Citatah hingga Desa Rajamandala Kecamatan Cipatat memantik kekhawatiran sekelompok masyarakat akan habisnya kekayaan warisan leluhur. Lokasi geologi tertua di Pulau Jawa itu menjadi pertambangan kapur seluas 10 ribu hektare sejak era otonomi daerah dimulai. Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menyebutkan dari areal seluas 10 ribu hektare itu telah rusak sekitar 60% akibat pertambangan.

Kekhawatiran itu telah mewabah ke Masyarkat Kampung Cidadap, Pamucatan dan Lampegan, Kecamatan Padalarang. Mereka khawatir gunung Hawu dan Pabeasan senasib seperti gunung lainnya karena berada di kawasan Karst Padalarang. Untuk mencegah hal itu terjadi, Suku Badot hadir dengan misi mengonservasi kawasan khususnya gunung Hawu dan Pabeasan sejak 2013. Sebuah komunitas dibentuk oleh sembilan penggawa peduli kelestarian alam, Ebet, Irsan, Andri Prayoga, Yogi, Sandi, Cepi, Pepi, Cucu dan Arai.

Melalui kegiatan tradisional atau ‘kaulinan baheula’, keberadaannya bak oasis di tengah hamparan batu kapur yang berpori dan kurang vegetasi. Setiap agenda kegiatannya memang selalu dinantikan oleh kawula muda, sebanyak 50 sampai 70 pemuda dari berbagai komunitas jaringan Suku Badot yang acap kali ikut hadir dalam kegiatannya, sebagai upaya mencegah pertambangan di gunung tersebut. Komunitas itu diantaranya Perpustakaan Jalanan, Cikapayang, Rakapare dan Pusing Panda. Di puncak gunung Hawu lah mereka bercengkerama.

Dari Tradisional untuk Agenda Sosial

Posisi matahari baru sebahu, waktu sudah menunjukan pukul sepuluh. Waktu yang cukup bagi sekelompok pemuda juga anak-anak untuk memulai agenda kegiatan bulanan Suku Badot, yakni memainkan permainan tradisional dalam misi konservasi.

Permainan tradisional dinilai lebih relevan karena selain melestarikan budaya juga dianggap berkaitan dengan kelestarian alam. “Kami lebih memilih permainan tradisional seperti bermain egrang dan layang-layang dalam misi kami karena selaras dengan kelestarian alam,” ujar salah satu pendiri Suku Badot Andri Prayoga di Bandung.

Digelarnya permainan tradisional di puncak gunung Hawu sebagai bentuk kegiatan sosial dalam menolak pertambangan kapur. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan, justru karena mereka prihatin dengan nasib gunung-gunung di Kecamatan Padalarang yang semakin terkikis. Kegiatan ini sengaja dipilih karena dinilai lebih aman dan tidak memicu konflik yang berujung adu fisik.

Suara keriang uir-uir menemani sepanjang perjalan mereka, satu dus layang-layang dan cat serta setumpukan bambu mereka pikul tanpa keluh memilu, namun yang nampak justru senda yang menyeru. Rencananya layang-layang itu akan diterbangkan di puncak gunung Hawu dan bermain egrang. Mereka begitu antusias karena sedang dalam misi sosial. Sesampainya di sana, saung milik salah satu teman Andri menjadi singgahan utama untuk memulai kegiatan.

Kegiatan dimulai dengan permainan egrang, dibutuhkan keseimbangan badan dalam memainkan permainan tradisional Indonesia itu. sebelumnya, diadakan workshop mengenai pembuatan egrang dipandu oleh anggota Suku Badot. Bambu-bambu yang telah disiapkan mereka potong satu hingga tiga meter atau sesuai tinggi badan, kemudian dilubangi pada bagian bawah bambu untuk pijakan.

Lubang tersebut dibuat dengan tinggi sekitar 30 centimeter dari permukaan tanah. Setelah itu membuat pijakan kaki yang panjangnya sekitar 30 hingga 40 centimeter. Pijakan tersebut kemudian dimasukan ke lubang tadi dan dipaku agar terkunci. Egrang siap digunakan, ada yang sekadar berjalan-jalan ada juga yang dipakai balapan.

Tak hanya egrang, masih ada satu permainan tradisional yang rugi bila dilewatkan yakni bermain layang-layang.  permainan berbentuk geometri dan dibutuhkan daya angin untuk menerbangkannya. Dikendalikan oleh bola atau gelasan, sebutan untuk tali layang-layang. Untuk breberapa daerah seperti Cibiru, Kota Bandung masih terlihat orang dewasa memainkannya. “Banyak dari yang hadir teringat masa-masa kecilnya memainkan permainan-permainan itu,” kata Andri.

Respon baik datang dari berbagai kalangan, salah satunya pecinta tato. Baru-baru ini suku badot menggelar tato tradisional secara gratis, tato khas dayak dengan metode hand tapping di puncak gunung Hawu. Uniknya sebelum pembuatan tato, terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dan si pembuat tato mengenakan pakaian ala suku dayak, yakni hanya memakai celana. “Yang buat tato memakai celana cawet hitam dan pake iket,” ujar Andri.

Tato tradisional baru menjadi serangkaian agenda bulanan Suku Badot pada akhir Agustus 2015. Rencananya akan digelar kembali pada pertengahan Oktober. “Respon teman-teman cukup baik, banyak dari mereka yang tertarik membuat tato tradisional di puncak gunung Hawu,” kata Andri.

Hari mulai temaram, matahari sudah berada di balik tabir senja. Mereka berkerumun di bawah kain flysheet. Sambil merebahkan badan dan melepas lelah, mereka mengisinya dengan berdiskusi tentang kopi yang menjadi minuman pelengkap kala nongkrong, mulai dari cara  membuat kopi, ciri khas bahkan sejarah kopi dari berbagai daerah di Indoneaia, diantaranya Papua, Aceh dan Malabar.

kopi menjadi salah satu minuman tradisional di Indonesia, karenanya, kata Andri, diskusi kopi menjadi salah satu rangkaian kegiatan Suku Badot. Sudah hampir dua tahun suku badot dengan rencana dan kegiatannya menjadikan gunung Hawu sebagai tempat umum. yang menjadi tolok ukurnya adalah kawasan tersebut selalu ramai pengunjung.

Dalam perkembangannya, gunung Hawu tak hanya menjadi kawasan konservasi, namun kini memiliki tempat wisata hammocking yang ramai oleh wisatawan dari dalam maupun luar kota setiap minggunya. Keberadaannya sebagai tempat wisata bukan tanpa masalah. “Di sisi lain muncul masalah baru yaitu soal sampah, sekali membersihkan kita bisa dapat setumpukan sampah,” kata Andri.

Selama ini mereka menghindari bentrokan fisik dengan pihak penambang dalam upaya menolak pertambangan batu kapur. karenanya mereka lebih memilih kegiatan bertemakan kelestarian lingkungan lewat kegiatan-kegiatan sosial tradisional.

Reporter         : Dede Lukman Hakim

Redaktur        : Isthiqonita

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas