SUAKAONLINE.COM – “Kita memberangkatkan banyak orang ke luar negeri untuk bekerja, sementara jaminan perlindungan dari negara sangat minim sekali, perlindungan di dalam negeri untuk buruh saja susah, apalagi buruh migran yang di luar negeri,” ujar Arip Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Huku (YLBHI) dalam acara Diskusi dan Launching buku Sebelum Pesawat Lepas Landas di Kampung Aliansi, Tamansari, Kamis (03/04/2019).
Arip Yogiawan memaparkan tentang isi buku ini tentang catatan-catatan LBH Bandung selama lima belas tahun dalam meneliti permasalahan buruh migran yang ada di Jawa Barat. Kemudian Arip Yogiawan menerangkan penyebab orang-orang rela pergi ke luar negeri sebagai buruh migran, salah satunya di daerah pangandaran yang dijadikan daerah pariwisata dan Indramayu daerah dengan kesenjangan sosial yang tinggi.
“Daerah Pangandaran di proyeksikan menjadi daerah pariwisata, dimana daerah itu akan di dorong untuk membuat infrastuktur yang akhirnya perampasan tanah terjadi. Kemudian di Indramayu dimana penguasa disana adalah pemilik kapal dan tuan tanah, warganya merelakan menjadi anak buah kapal dan sebagian lagi menjadi penggarap tanah. Jadi penyebab keberangkatan buruh migran ke luar negeri adalah perampasan ruang hidup yang sangat masive,” ujarnya.
Sementara itu, Yulia Arsa seorang perempuan yang pernah menjadi buruh migran menceritakan kisahnya menjadi seorang buruh migran pada tahun 1998. Penyebab dirinya mejadi buruh migran adalah monopoli harga cengkeh yang dilakukan perusahaan milik Tommy Soeharto sehingga harga cengkeh menurun drastis di daerah Banyuwangi dan beberapa masyarakat disana yang mulanya menjadi petani cengkeh kini beralih profesi menjadi buruh migran.
Kemudian penempatan tempat buruh migran yang dialami Yulia tidak jelas, ditambah lagi tidak diberikannya pemahaman tentang hak-hak seorang buruh migran. “ Waktu itu saya daftar lewat calo dengan proses penempatan yang amburadul dan saya masuk ke penampungan selama sebelasas bulan, saya didik untuk gimana bekerja, gimana mengoperasikan alat-alat rumah tangga, kemudian dilatih bahasa asing tetapi saya tidak pernah dikasih pemahanan tentang hak saya, rasanya seperti dipenajara,” tutur Yulia.
Selama dua belas tahun, Yulia menjadi seorang buruh migran dengan penempatan Hongkong dan Makau. Orientasinya pada saat itu adalah uang. Karena ketika di penampungan pemahaman yang diberikan oleh perusahaan yang mengirimnya ke luar negeri adalah bagaimana mendapatkan uang disamping perlakuan majikan yang kurang menyenangkan “ Yang saya ingat perkataan dari pemilik perusahaan yang mengirim saya, apapun perlakuan majikan, satu yang diingat, dollar, dollar, dan dollar.” ungkapnya.
Disamping itu, Desmon manyatajan perlunya sosialisasi pada mahasiswa prodi Hubungan International (HI) untuk mengkaji buku dan isu ini, karena dalam prodi HI khususnya terkategori pada isu keamanan non traditional ada kajian khusus tentang buruh migran internasional. Meskipun saat ini rata-rata mahasiswa HI tidak tertarik dengan isu ini bahkan tidak pernah disentuh karena di perguruan tinggi mereka masih berkutak pada isu negara.
Diakhir diskusi, para pemateri dan anggota LBH Bandung berharap buku ini bisa dibaca oleh banyak orang, dan dapat membangunkan kesadaran untuk lebih peka terhadap isu-isu sosial, kemanusiaan dan keadalian, khususnya isu tetang buruh migran yang masih terjadi sampai saat ini.
Reporter : Aldy Khaerul Fikri / Magang
Redaktur : Dhea Amellia