SUAKAONLINE.COM – Tidak adanya fasilitas masjid di Kampus Dua UIN SGD Bandung sempat menjadi polemik dan keluhan dari masyarakat kampus dua, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Pascasarjana. Namun, pembangunan masjid yang sempat terhenti akibat kendala bantuan dana, kini sudah dilanjutkan kembali.
Wakil Rektor II UIN SGD Bandung, Tedi Priatna mengaku bahwa pembangunan masjid kampus dua sudah kembali dilakukan sejak sekitar bulan Februari dan dikelola secara langsung oleh Rektor. Pembangunan masjid dibangun dengan ukuran 30×30 meter sebagaimana tercantum di proposal awal.
“Kelihatannya lebih besar dari masjid kampus satu. Cuma kebetulan kita ada lahan luas yah, jadi kelihatannya agak kecil. Jadi problemnya kalau di kampus satu kan tidak bisa melakukan apapun, kawasan udah penuh. Kalau disini, kenapa pembangunan terus di kampus dua, karena memang di sana sudah engga bisa buat apa-apa, buat parkirkan juga sudah susah. Kapasitas orang tidak sebanding dengan luasnya. Makanya, pengembangan di kampus dua menjadi salah satu alternatif,” jelasnya saat diwawancarai Suaka, Selasa (28/7/2020).
Tedi juga menjelaskan terkait dana yang terhimpun diperoleh dari salah seorang donatur dari Saudi Arabia, Syekh Abdullah Al-ghamdi. Dengan nominal yang dianggap privasi, pihak UIN SGD Bandung disiapkan untuk membangun, membantu dan meng-improvisasi konsep yang sudah ditawarkan.
“Jadi sepenuhnya penyelesaian ini tanggung jawab dari donatur. Cuma kita improvisasi, kita ikut-ikutan. Misalkan kami gak mau gini, dari sananya dikasihnya begini. Kalau gini gimana, ya mangga silahkan. Kaya ini plafon, dari syekh-nya lurus, kita improvisasi supaya lebih indah,” tambahnya. Di luar donatur utama, Tedi juga menyampaikan dana pembangunan masjid juga didapatkan dari beberapa dosen.
“Misalkan, ada yang ngasih granit, ada yang ngasih makan, kerja juga dosen. Yang kerja itu gaji-nya ditanggulangi mereka (red: donatur utama), tapi uang makan kita yang bantu. Sehari dikasih makan oleh kita. Itu yang sebenernya kita kumpulkan dari donatur-donatur di kita,” bebernya.
Sebagaimana diketahui, bahwa anggaran untuk pembangunan masjid adalah di luar tupoksi kelembagaan UIN SGD Bandung dan secara regulasi kampus tidak dibenarkan untuk memasukkan pembangunan masjid ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL). Oleh sebab itu, cepat atau lambatnya pembangunan bergantung kepada terkumpulnya biaya dari swadaya masyarakat.
Lebih lanjut, berkenaan dengan konsep, Tedi turut menjelaskan selain untuk pusat ibadah, berdirinya masjid di lingkungan kampus dibarengi dengan menonjolkan narasi dan nuansa akademik. Sehingga masjid tidak sekadar digunakan untuk salat dan pengajian saja. Melainkan menjadi pusat-pusat kajian ilmu keagamaan, diskusi-diskusi keagamaan, serta kegiatan-kegiatan keilmuan akademik yang biasa dilakukan di Aula, dapat turut terselenggara di masjid ini.
“Yang dititipkan pak rektor ini tentu saja tentang pemahaman agama yang lebih moderat, jadi kita tidak lagi membawa nama bendera, ormas dan lain sebagainya. Tapi nilai kebangsaannya betul-betul selesai disini. Mudah-mudahan nanti bisa menjadi ikon baru UIN Bandung punya masjid yang ghirah keilmuannya relatif lebih bagus,” harapnya.
Tedi juga mengungkap bahwa proses pembangunan yang dilakukan sejak bulan Februari ini sudah berjalan hingga 70%. Sedangkan untuk 30% lagi, diakui dalam hal merampungkan dan merapikan pekerjaan-pekerjaan detail yang terhitung agak rumit dan membutuhkan waktu lama. Sementara itu, untuk target rampung secara keseluruhan, Tedi berharap agar dapat selesai secepatnya.
“Memang kita berharap sebelum mahasiswa masuk, sudah selesai. Mudah-mudahan bisa selesai secepatnya. Karena kalau masjid kan sebenarnya bukan hanya untuk mahasiswa. Dosen-dosen juga selama ini kita salat di ruangan, bahkan salat Jumat kadang-kadang di aula,” pungkasnya. Di sisi lain, salah satu mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Ishma Shafiyatu Syadiyah, mengaku bahwa dirinya kurang mengetahui tentang pembangunan masjid kampus dua.
Ishma juga berpendapat bahwa memang seharusnya sudah sejak dulu masjid itu dibangun dan segera dirampungkan. “Sebelum itu juga mahasiswa salatnya di mushala. Itu juga bergantian, kurang nyaman lah, alternatif untuk melaksanakan salat itu kurang memadai. Air susah, tempatnya bisa dibilang kurang bersih. Dan kalau musim hujan, salatnya di kelas. Harusnya dari dulu-dulu membangun masjid. Itu sarana dan prasarana yang sangat urgent. Engga apa lah kantin mah nomor berapa.” Ungkapnya, Selasa (28/7/2020).
Reporter: Siti Hannah Alaydrus dan Fauzan Nugraha/Magang
Redaktur: Awla Rajul/Suaka