Aspirasi

Semua Orang Cabul, Termasuk Penonton Drakor

Ilustrasi: Hamzah Anshrulloh/Suaka

Oleh: Abdul Azis Said*

Drama korea atau drakor bukan jenis tontonan yang hambar. Di dalamnya terdapat sejumlah adegan sensual yang kenyataannya tidak kalah panas ketimbang bokep. Meski begitu, keduanya ditempatkan pada status sosial yang berbeda. Adegan sensual drakor berharga mahal dan eksklusif, jauh berbeda dengan bokep yang dipenuhi stigma negatif. Keduanya menghadapi kondisi yang tidak seimbang.

Penggemar drakor pasti tahu betul adegan sensasional di episode 13 drama What’s wrong with Secretary Kim. Saat Park Seo Joon dan Park Min Young tampil berapi-api di atas ranjang dengan pakaian setengah telanjang. Meski sudah cukup lawas di-upload dua tahun silam, adegan panas yang berdurasi kurang dari dua menit itu bahkan kini sudah ditonton lebih dari 300 juta kali di kanal Youtube. Hal itu menunjukkan kalau penonton masih dan akan terus mengingat adegan tersebut, ketimbang adegan esensial lainnya.

Beginilah sebenarnya gambaran penonton drakor, mereka turut menyaksikan hasrat-hasrat yang membara layaknya penonton bokep. Perbedaanya, mereka menyaksikan dalam porsi pendek dan terpisah-pisah di banyak episode, sementara bokep dalam durasi lebih panjang.

Seperti Bokep, Drakor Memediasi Fantasi Seksual Penontonnya

Khusus drakor dengan genre romance, momentum ciuman merupakan hal paling mudah ditemui. Alih-alih menampilkan adegan lebih sensasional, drakor lebih memilih mengerotisasi adegan ciuman sebagai sesuatu yang mampu membangkitkan rasa penasaran penontonnya. Setelah itu biasanya penonton akan ikut-ikutan terbuai asmara saking romantisnya.

Analisis Hendri Yulius dalam beberapa bab di bukunya yang berjudul ‘c*abul’ mungkin cukup membantu menjelaskan kondisi ini. Ia menggunakan teori spectatorship untuk menunjukkan hubungan erat pornografi dengan potensi kecabulan yang sebenarnya dimiliki setiap orang. Untuk diketahui, teori ini sangat lazim dipakai dalam studi perfilman untuk menjelaskan hubungan yang terbentuk antara penonton dengan apa yang ditontonnya.

Memakai teori tersebut, Hendri menyebut kehadiran pornografi memungkinkan penontonnya mampu merayakan fantasinya yang selama ini telah direpresi habis-habisan oleh normativitas. Ditambah dengan bantuan teknologi dan teknik sinematografi yang ciamik, persanggamaan bintang porno makin tampak nyata. Penonton seolah dibuat ikut merasakan, sebagai seorang pengintip atau bahkan mengidentifikasi diri sebagai sang aktor yang bersanggama.

Adegan ciuman dalam drakor pun sama. Perasaan bahagia bisa jadi muncul karena seolah-olah penontonnya sedang mengintip atau membayangkan menjadi sang aktor. Diakui atau tidak, beberapa penoton pasti pernah berharap bisa menggantikan peran salah satu dari aktor kemudian membalas pelukan, melumat bibir pasangannya, bahkan mengharapkan relasi yang lebih intim lagi.

Mengutip sebuah artikel yang dirilis CNN Indonesia pada April lalu membahas tentang alasan drakor mendadak digandrungi banyak orang. Dalam satu wawancara dengan Psikolog, Mira Amir, mereka menunjukkan adanya afeksi emosional memungkinkan penonton terlibat lebih dalam lagi merespon apa yang ditontonnya. “Afeksi emosionalnya meningkat, karena dilibatkan secara emosi. Ketika emosi ditampilkan (dalam drama), dia (penonton) merasa itu menjadi representasi dari dirinya,” ujarnya.

Satu hal lagi yang unik dari kondisi ini. Fantasi itu hanya akan hadir dalam ruang privasi, artinya hanya dia sendiri yang tahu. Karena bila bisa diketahui publik, justru hanya akan menghadirkan bulan-bulanan sosial dan dianggap melanggar moralitas. Seperti penonton bokep yang seringkali mengendap-endap mencari tempat sepi agar aktivitas menonton tidak diketahui orang lain. Bukankah itu juga yang dirasakan oleh penonton drakor saat adegan ciuman muncul? Memang lebih asyik ngedrakor di kamar sendiri ketimbang nontonnya ramai-ramai.

Drakor dan Bokep Berada pada Persepsi Sosial Berbeda

Meski sama-sama berhasil memediasi fantasi seksual penontonnya, bokep dan drakor punya stigma sosial yang berbeda. Menonton pornografi seringkali dipandang sebagai perilaku amoral karena menyaksikan ketelanjangan dan aktivitas penetrasi alat kelamin. Sementara dengan menyaksikan adegan ciuman dalam drakor sedikit termaafkan, karena ciuman lekat dengan romantisme.

Hal ini bisa dibuktikan ketika melakukan pencarian di google dengan keywordAdegan Ciuman Drakor”. Daftar teratas yang muncul merupakan artikel yang mengaitkannya dengan kesan positif dan tentunya diterbitkan oleh media-media pengais klik. Seperti artikel popbele.com yang berjudul “10 Adegan Ciuman di Drama Korea, Berkesan dan Bikin Baper”. Begitupun artikel lainnya yang selalu menempelkanya dengan istilah-istilah ciuman romantis, ciuman terbaik, bikin iri netizen atau lainnya.

Perbedaan stigma ini bisa jadi muncul karena adegan ciuman drakor hadir bersamaan dengan romantisme, sementara bokep sangat lekat dengan wujud percintaan yang ‘kotor’. Erotisasi adegan ciuman dalam drakor dibangun atas konfigurasi adegan pendukung. Terutama adegan ciuman selalu dibarengi dengan kisah percintaan yang sukses.

Konflik yang berjilid-jilid untuk menemukan cinta sejati dua sejoli seringkali dilunasi dengan ciuman. Menandaskan bahwa ciuman menjadi pembuktikan terhadap hubungan yang  bahagia. Dengan begini, ekspektasi kisah percintaan tampak lebih worth it sekalipun telah dibuat menangis habis-habisan.

Membandingkannya dengan pornografi, penonton tidak pernah mempertimbangkan kalau video bokep sebenarnya juga punya adegan ciuman yang lebih gahar ketimbang drakor. Sehingga menurut penulis, adanya usaha mengubah persepsi ciuman drakor sebagai sesuatu yang tampak lebih positif, bisa jadi dilakukan penonton demi menghindari stigma sebagai kelompok yang cabul.

Represi Normativitas Membuat Seksualitas Tampak Sekedar Sanggama

Kini saatnya mempertanyakan adil tidaknya jika label penonton cabul hanya diberikan kepada mereka yang menonton bokep. Mengabaikan identitasnya sebagai penonton bokep, drakor atau bukan, semua orang juga sebenarnya cabul karena selalu punya cara mengerotisasi tubuh manusia dan melampiaskan fantasi seksualnya.

Iklan minuman suplemen untuk tubuh pria contohnya. Biasanya menampilkan potongan tubuh laki-laki yang terbuka dengan pahatan dada bidang untuk menggambarkan performa maskulinitas. Dalam konteks ini media berperan membentuk ekspektasi seksualitas penonton. Karena lebih dari sekedar menampilkan wujud tubuh yang sehat, penonton juga dibawa pada persepsi bagaimana bentuk badan yang ideal seolah selalu relevan untuk menggambarkan kesuksesan dalam percintaan. 

Namun dalam realitasnya, hal ini justru dilabeli sebagai hal yang normal dan lumrah disaksikan. Tidak salah, namun lagi-lagi tidak adil. Karena masyarakat secara aktif mensegregasi makna-makna cabul dan seksualitas hanya pada kadar tertentu. Limitasi ini yang kemudian mengorbankan penonton bokep dengan mengecapnya sebagai dosa sosial.

Contoh iklan suplemen tadi membuktikan kalau fantasi seksualitas bisa datang dari seluruh bagian tubuh manusia. Seseorang bisa berfantasi cukup sekedar melihat dada kotak-kotak atau melihat punggung model wanita di iklan sabun mandi. Tidak ada yang bisa menebak kemampuan seseorang mengerotisasi sesuatu, semuanya mungkin terjadi.

Pornografi digolongkan sebagai perilaku tercela karena heteronormativitas telah membangun aturan baru tentang perilaku seksualitas mana yang patut dan tidak untuk ditonton. Terutama makin banyaknya genre pornografi yang menampilkan BDSM (Bondage Disipline Sado-Masochism-red) dan hubungan sesama jenis. Bokep kian jadi incaran caci maki bagi banyak orang yang ingin diakui ‘normal’.

Sederhananya begini, adanya nilai normativitas telah membawa kita menjadi masyarakat yang sangat diskriminatif dengan mengotak-kotakkan masyarakat ke dalam kelas cabul atau tidak cabul. Meski kenyataanya kita semua merupakan masyarakat cabul yang menggilai seks.

Setiap orang secara kreatif mampu memodifikasi darimana dan bagaimana fantasi seksual bisa dimanifestasikan. Jadi sangat penting untuk memikirkan kembali sudah tepatkan labeling cabul hanya disematkan pada penonton bokep? Mungkin saja kita adalah penonton bokep versi lain.

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiara Islam semester enam, serta anggota LPM Suaka divisi Riset, Data dan Informasi

1 Comment

1 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas