SUAKAONLINE.COM – Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang baru tentang Royalti Hak Cipta dan Musik, menjadi polemik bagi sebagian masyarakat Indonesia. Dosen karawitan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dan Founder Komunitas Karawitan Indonesia, Suhendi Afryanto menilai Peraturan Royalti Hak Cipta ini adalah hal yang positif. Karena dengan adanya royalti musik ini, musik tradisional akan terlindungi dan lebih dihargai.
“Begitu keluarnya PP saya kira ini mengindikasikan, kalau saya memposisikan ini sebagai pelaku yang ada di musik tradisional, ini positif. Sepanjang ini mempunyai kesadaran yang sama. Jadi jangan sampai jomplang. Padahal kalo kita berbicara tentang reward harusnyakan tidak tebang pilih, harus ada balance,” tutur Suhendi saat diwawancarai di Gedung Rektorat ISBI, Rabu (14/04/2021).
Ia juga menyebutkan bahwa dalam kepengurusannya di Lembaga Standar Kompetisi Kerja Nasional Indoneisa (SKKNI) ingin menghargai seniman tradisional. “Kebetulan saya juga terlibat kedalam pengurusan Standar Kompetisi Kerja Nasional Indonesia. Nah kita ingin, bahwa seniman-seniman tradisional ini dihargai,” tambahnya.
Suhendi menjelaskan, bahwa karya-karya yang berada diwilayah musik industri sudah memiliki mekanisme sendiri seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan sudah pasti memiliki royalti. Sedangkan untuk musik Tradisional belum memiliki itu. Sehingga dengan adanya PP Royalti Hak Cipta ini bisa menjadi kesejahteraan bagi para seniman musik tradisional.
Suhendi berharapap untuk kedepanya musik tradional dapat dihargai oleh masyarakat luas. “Kalau harapan saya secara pribadi, kita melihat nilai-nilai positifnya, supaya kedepan seniman tradisional ini dihargai oleh siapapun. Karena dalam membikin karya itu kan gak mudah butuh proses.” Tuturnya.
Namun, Suhendi sadar betul bahwa masih ada sebagian masyarakat yang merasa keberatan atas PP ini. Hal itu bisa disebabkan karena ketidak tahuan dan kurang pahamnya sebagian masyarakat terhadap maksud dari pasal Undang Undang (UU) Royalti Hak Cipta dan Musik ini. Sehingga menurutnya hal ini perlu di sosialisasikan dengan berbagai macam pihak dan kemudian mencari solusi bersama.
Pengelola sekaligus founder Kafe Hallway, Pam mengaku masih kebingungan terkait mekanisme PP Royalti Hak Cipta dan Musik ini. Dia belum mengetahui bagaimana cara membayar royalti dan sistem yang dilakukan dalam pemutaran lagu-lagu. Hal ini membuat keresahan dan dilema baginya, ditambah jika sudah diberlakukan PP ini, maka itu juga akan menambah biaya operasional.
“Apabila kafe disini memutar lagu bahasa indonesia bagaimana cara mengumpulkan royalti tersebut? Karena setiap kafe beda-beda setiap playlist-nya. Kalo itungannya satu jam lagunya lima menitan berarti kafe tersebut memutar 12 lagu perjam, dikalikan jam operasional. Yang saya bingungin, bagaimana cara mengumpulkan uang royalti tersebut?,” ujar Pam ketika diwawancarai di kantornya, Rabu (14/04/2021).
Pam juga mengakui ia kebingungan mengenai regulasi pasal tersebut. Bagiamana cara pengelolaan royaltinya dan tambahan biaya operasional kafe. “Apakah ada lembaga khusus nantinya untuk mengumpulkan dana tersebut? Selanjutnya, biaya operasional tersebutpun otomatis akan bertambah dikarenakan dana royalti tersebut,” ujarnya.
Meski begitu, Pam tetap menghormati PP Royalti Hak Cipta dan Musik ini. Karena menurutnya musisi dan dirinya memiliki kesamaan. “Kalo dibilang setuju atau tidak setuju, ya saya setuju. Karena kita sama-sama dibidang industri kreatif,” katanya.
Lebih lanjut, Pam berpendapat terkait impak dari pasal UU Royalti Hak Cipta dan Musik ini bagi musisi dan pemilik kafe. “Kita juga harus mikirin impaknya dulu, bagi si kafe dan juga musisi. Kalo musisi Indonesia saja yang mendapatkan royalti atau musisi luar juga mendapatkan royalti? Jika musisi luar tidak mendapatkan royalti, otomatis beberapa kafe pun akan memilih memutar lagu dari musisi luar negeri.” Tutupnya.
Reporter : Yopi Muharom, Ajeng Kurnia Fitri/Magang
Redaktur : Fauzan Nugraha/Suaka