
Etnis Tionghoa sedang bersembahyang di vihara Dhanagun, jalan Suryakencana, Kota Bogor, Jum’at (20/01/16). (Kontributor/ M. Ade Noveryza)
SUAKAONLINE.COM – Sentimen anti-Cina kembali timbul kepermukaan akhir–akhir ini. Sentimen ini dilatar belakangi oleh berita hoax yang mengatakan bahwa akan ada 10 ribu tenaga kerja Cina yang masuk ke Indonesia. Juga dengan pencalonan Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur Ibukota Jakarta pada pilkada 2017 sekarang, sentimen ini pun menyeruak dari segala lini, salah satunya media sosial.
Media sosial menjadi tempat bagi masyarakat yang sudah melek teknologi untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi, termasuk ekpresi negatif terhadap suatu etnis. Ada banyak status facebook atau cuitan–cuitan di twitter yang menggambarkan kebencian.
Menurut Sosiolog UIN SGD Bandung, Dulkiah, fenomena ini terjadi karena ketika seseorang melakukan interaksi secara tidak langsung (tidak tatap muka), individu ini akan cenderung menafikan nilai yang telah ada di lingkungan tersebut. “Saat kita mengemukakan pendapat dengan bertatap muka, nilai yang ada di lingkungan akan terjaga karena kita memiliki sensibilitas sosial atau kepekaan terhadap lingkungan kita sendiri, jadi kita bisa lebih mengontrol diri,” ungkapnya saat ditemui Suaka, Rabu, (18/01/17).
Ia pun menuturkan bahwa sentimen anti-Cina ini bukan lagi isu yang baru. Tercatat juga sentimen yang dilakukan masyarakat Indonesia terhadap ras tersebut dari zaman penjajahan Belanda, orde lama hingga yang paling nahas terjadi pada tahun 1998. Pada pekembanganya, sentimen anti-Cina ini bisa juga dibuat dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. “Kita juga tahu bahwa dalam politik pasti, kita akan menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan sendiri, dan dengan memanfaat isu seperti ini, ada indikasi bahwa ini mengarah kesana,” ujar Dulkiah.
Dulkiah pun menambahkan, bahwa kebencian–kebencian yang dipupuk, kemudian diutarakan ini menandakan tak ada sisi humanisme yang dimiliki masyarakat. “Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara keberagaman, terdiri dari berbagai banyak suku, etnis dan kebudayaan. Dan ketika kita membenci salah satu etnis, maka kita telah menjadi anti humanis dan merampas hak–hak manusia lain,” paparnya.
Pendapat serupa pun dikemukakan oleh Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Ardi Rakasiwi, bahwa ada generalisasi dalam sentimen anti-Cina ini. “Kita sama–sama manusia. Dan kalau ada salah satu dari etnis mereka yang salah, salahkan lah orangnya, jangan ras dan sukunya yang disalahkan,” tutur mahasiswa yang aktif di UPTQ tersebut.
Ada beberapa solusi yang dipaparkan oleh Dulkiah agar kedepanya tidak terjadi lagi sentimen anti etnis seperti ini, untuk masyarakat sendiri yakni harus terbangun kesadaran kolektif mengenai keberagaman hingga terjalin kerukunan yang diiringi toleransi. Lalu pemerintah juga harus membuat kebijakan yang tidak bersifat primodial.
Reporter : Nizar Al-Fadhilah
Redaktur : Dadan M. Ridwan