MR. Maskur*
Mak Ula, kulitnya sudah keriput tidak karuan, rambutnya tersepuh uban masa gelap yang menuju putih, namun gerakan tubuhnya jauh dari kata tua. Bahkan mengalahkan anak-anaknya yang masih muda. Anaknya ada sembilan, cukup hanya sembilan, menurutnya itu angka paling istiqomah. Tiga anaknya mati duluan, mendahului ibunya sendiri, dalam hal ini tidak ada kesopan santunan, yang muda atau tua boleh lebih dulu menemui ajalnya.
Tetapi, anak-anaknya heran pada Mak Ula. Umurnya sudah lewat seratus tahun, tapi masih saja kuat berdiri dan berjalan-jalan mengitari kampung. Bahkan, sesekali ingin dibelikan rokok, lantas tengkurap sambil mengepulkan asap, anak-anaknya hanya tertawa melihat tingkah orangtuanya. Meskipun begitu, Mak Ula tidak lupa waktu ibadah. Yang ditakutkan, orang di kampung mengkultuskan dirinya, menjadikannya sebagai orang untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang hal yang tidak masuk akal.
Bila malam, Mak Ula selalu menyuruh anak-anaknya berkumpul bersama, bahkan yang sudah meninggal pun ikut dipanggilnya juga. Anak-anaknya kadang takut melakukan semua ketidakwarasan ini. Jika tidak, Mak Ula suka marah dan meneriakan sumpah serampah, diikuti suara petir yang nyaring, seolah langit ikut mendukungnya. Sebenarnya, perkumpulan ini hanya dilakukan dua minggu sekali, atau lebih dari itu, tergantung titah Mak Ula. Di setiap malam, apa yang dibicarakannya selalu sama, kalimat persis yang terus berulang, seolah-olah meminta ketegasan dan peringatan.
Dulu, katanya kakek buyut Mak Ula adalah seorang Ing Paya1 murid dari Laganastasoma, anak dari keturunan raja Jampang Manggung. Mak Ula selalu menjelaskan tiga Ajen pada anak-anaknya. Ajen Galuh, menerangkan persoalan manusia berinteraksi dengan Tuhan yang memberi dan mencabut kehidupan. Ajen Pananggelan, ilmu yang membimbing agar hidup tumbuh berkembang dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ajen Galunggung, mengajarkan cara manusia berinteraksi dengan alam agar selalu seimbang.
Mak Ula, selalu menjelaskan tiga Ajen tersebut dalam Bahasa Sunda, sambil diselingi mantra. Mak Ula memang terkenal sakti, menurut orang-orang sekitar ia memiliki kadigjayaan, sehingga ia sulit mati, kecuali sudah melepas kadigjayaannya. Bagi anak-anaknya sendiri, ia tetaplah ibu sebagaimana biasanya, bahkan kadigjayaan tersebut jadi beban yang berat. Dalam bahasa paling telanjang, ibu seharusnya sudah mati sejak beberapa tahun lalu. Namun kalimat penutup Mak Ula terus berulang.
“Mangsa hareup nu can karandapan pinasti bakal kasorang, pinasti bakal dikapimilik ku urang!”
Sehabis kalimat itu dilafalkan sebanyak tiga kali, beberapa menit kemudian Mak Ula suka langsung tertidur, begitulah di setiap malam usai berkumpul. Anak-anaknya mengangkatnya seolah sudah meninggal, membaringkannya di kamar. Ucapannya benar, sebelum subuh tiba, Mak Ula sudah duduk kembali di depan teras rumah, merayakan kehidupan paginya dengan kawih3 sunda sambil menatap wajah semesta.
Cucunya sakit panas, sudah dua hari suhu tubuhnya tidak mau turun. Mak Ula lantas menggendongnya, menyanyikan sebuah lagu mirip jangjawokan4 cucunya tertawa dan berlari kembali ke ibunya. Seketika, suhu tubuhnya kembali normal. Mak Ula kembali duduk dan bernyanyi, nyanyian purba yang tidak dikenal.
Mak Ula tinggal bersama anaknya yang paling bungsu. Mak Ula sangat ramah, sangat gemar sekali menyapa orang yang lewat, meski orang itu tidak dikenal dan tidak menjawab pertanyaannya. Penglihatan dan pendengarannya memang mulai berkurang, tetapi gairah hidupnya seperti selalu bertambah. Sempat, Mak Ula ingin nikah lagi. Tetapi pria atau kakek mana yang mau menikah dengannya, di kampung itu tidak ada yang lebih tua selain dirinya. Untung saja, Mak Ula masih bisa dibujuk anak-anaknya.
Banyak sekali tingkah laku Mak Ula diluar nalar, yang terkadang mudah atau susah dikendalikan. Anak-anaknya sendiri kerepotan, apapun yang diucapkannya dalam lamunan selalu terbukti benar. Kemarin, Mak Ula berbicara sendiri tentang seseorang yang pergi menaiki burung gagak. Anak-anaknya tersenyum, menganggap hal itu sebagai celotehan. Selepas magrib, burung gagak hinggap di rumah tetangganya, tidak lama setelah itu, Mas Warsidi meninggal. Kini, anak-anaknya saling berpandangan. Kejadian seperti ini tidak terjadi sekali, sangat sering dan berulangkali.
Bila tidak dicegah, maka banyak orang berdatangan menemui Mak Ula, entah itu untuk minta kesembuhan atau petunjuk, atau juga nomor togel5. Oleh karena itu, anak-anaknya dipenuhi kekhawatiran. Bagi Mak Ula, masa depan seolah-olah sudah menjadi kepastian yang akan dimilikinya. Setiap hari, Mak Ula selalu merayakan masa depan yang dimilikinya dengan nyanyian-nyanyian kecil—pupuh6 dan kawih sunda yang lirih.
Anak-anaknya berkumpul, menerka-nerka kematian Mak Ula. Mungkin orang lain benar, sebelum kadigjayaan itu terlepas, maka Mak Ula sulit buat meninggal. Atau mungkin Mak Ula sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan yang sekarang hidup adalah jin yang menghuni jasad Mak Ula. Anak-anaknya harus mencari tahu kadigjayaan apa yang dimiliki Mak Ula. Mereka membongkar lemari dan barang-barang milik Mak Ula.
Ada beberapa foto tua, hitam putih dan penuh debu. Terlihat Mak Ula memakai kebaya dan sarung batik, cantik dan indah. Ada aksara sunda kuno diatas selembar daun damar, ada arab gundul diselembar kertas yang sudah menguning, ada beberapa kujang kecil dalam bungkusan. Tanpa basa-basi, dan sebelum Mak Ula datang, Nonok, anak bungsunya memasukan semua benda itu ke dalam kantong plastik, kecuali foto yang sepertinya tidak memiliki nilai mistis apa-apa.
Ini bukan pembunuhan, hanya membersihkan Mak Ula dari berbagai kadigjyaan, supaya ruhnya bisa lepas dengan tenang. Tetapi ini seperti menjodohkan Mak Ula dengan kematian. Nonok terlalu takut membakar semua barang itu sendirian, dia memanggil semua saudara-saudaranya. Di belakang rumah, semua barang itu dibakar. Makin lama makin terdengar nyanyian Mak Ula, makin lama makin keras, nyanyiannya sangat sedih dan lirih. Abu dan kujang kecil yang gosong itu lantas dikubur dalam-dalam.
Di depan rumah, terdengar Sobri anak Nonok memanggil-manggil, Mak Ula jatuh pingsan di jalan dekat pohon randu. Anak-anaknya berlarian ke luar, memburu dan memastikan kabar. Ada rasa yang tumpang tindih, yang saling beradu, yang saling melumatkan, antara harus sedih atau bahagia. Mak Ula ditandu ke rumah, dibaringkan di ruang tengah. Semua anak-anaknya berkumpul, para tetangga berhamburan ke luar dan ikut berkumpul juga di sana, ingin menuntaskan rasa penasarannya. Beberapa orang rela berdesakan bergantian mengintip dari kaca jendela. Suara-suara terdengar serupa dengung lebah, anak-anaknya menangis saling berpelukan.
Semua orang yang ada di sana terperanjat, bahkan tidak sedikit yang berlarian. Mak Ula yang disangka-sangka sudah meninggal, tiba-tiba menggeram, tubuhnya bergemetar seperti disengat listrik. Anak-anaknya cepat-cepat memegang tubuh Mak Ula, para sesepuh di sana berdatangan membaca ajian dan mantra, ustadz dan kyai juga tidak mau kalah, mereka membacakan beberapa potongan ayat suci Alquran, ngabura7 wajah Mak Ula dengan air doa. Mak Ula tenang kembali, geramannya mulai terdengar pelan. Namun detak jantungnya masih belum normal, dadanya naik turun tidak teratur. Matanya berkilat tajam bagai petir.
Seluruh isi kampung itu ramai dengan berita Mak Ula. Bahkan dari luar kampung pun berduyun-duyun ingin melihatnya. Topik terpanas mulai menyebar ke berbagai penjuru, seorang sakti mandraguna bertarung dengan malaikat pencabut nyawa. Ruh yang sudah hilang itu tiba-tiba seperti datang kembali untuk diperebutkan lagi. Dalam wajah Nonok terlihat kegelisahan yang parah, rasa bersalah yang dipendam dalam tangisan.
Wartawan dadakan mulai bermunculan, mewawancarai orang yang sudah lama di sana. Sebagian orang sibuk dalam pikirannya, menerka-nerka kejadian yang masih berlangsung. Beberapa orang tetangga sudah ada yang mempersiapkan pemandian dan pemakamannya. Kuburannya sudah digali, dekat dengan almarhum suaminya.
Mak Ula kembali memejamkan mata. Pertarungan sengit itu pun selesai. Bau kematian perlahan hilang. Orang-orang pulang mengemas kebingungan.
Nonok sakit, badannya menggigil semalaman, saudara-saudaranya mengira ini malapetaka karena ide Nonok untuk membakar semua jimat atau barang-barang Mak Ula. Nonok harus minta maaf pada ibunya, sebelum Mak Ula murka dan mengutuk Nonok. Mak Ula masih terus bernyanyi di kamar, merayakan kemenangan, sebab masa depannya masih bisa diulang.
“Mah, tadi Sobri ningal Emak ngawih di caket tangkal randu!8”
Nonok yang sedang duduk di kursi beranda hanya bisa mengernyitkan dahi.
Keterangan :
- Ing Paya : Seseorang yang mengajarkan ilmu kehidupan yang terdiri dari 3 ajen, yaitu Ajen Galuh, Ajen Pananggelan, dan Ajen Galunggung. (Ajen = ilmu pengetahuan)
- Masa depan yang belum dialami pasti datang, pasti menjadi milik kita.
- Kawih : lagu tradisional dari Bahasa Sunda yang iramanya tidak teratur
- Jangjawokan : sejenis mantra dari Bahasa Sunda yang digunakan untuk menyembuhkan
- Togel : nomor undian judi
- Pupuh : lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata dalam satu bait, jumlah larik, dan permainan lagu (lagu tradisional Sunda)
- Ngabura : menyembur
- Bu, tadi Sobri melihat nenek bernyanyi di dekat pohon randu.
*Penulis merupakan Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Putra Indonesia (UNPI) Cianjur. Juga aktif menulis dan bersastra di Ruang Sastra Cianjur, Komunitas Nina Bobo, Tapakarama Production, LASAKATA, dan TOKAKA(Toilet Kata-Kata).