Oleh Fathullah Syahrul*
“Demokrasi itu merupakan bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi masalahnya, bentuk lainnya tidak lebih baik daripada demokrasi” (Winston Churcill). Penggalan kalimat yang ditulis Winston ini menjadi perdebatan dalam menatap masa depan demokrasi khususnya di negara-negara berkembang. Perbincangan demokrasi sebenarnya memang harus diakui menjadi satu dimensi kekuatan dalam sistem tata kelola negara, di mana demokrasi bekerja.
Salah satu wacana perbincangan publik akademis saat kemenangan demokrasi-liberal atas komunisme yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet, “The End of History” kata Francis Fukuyama. Fukuyama mengingatkan kepada kita tentang kesuksesan demokrasi di negara-negara maju dan berujung tragis pada negara-negara berkembang. Tetapi, bukan berarti suara-suara minor tentang demokrasi tak nyaring bunyinya.
Tesis yang dikatakan Fukuyama itu sah-sah saja, mengingat dalam proses menatap demokrasi di masa depan. Realisme demokrasi di negara berkembang mengalami tantangan yang luar biasa hingga hari ini. Fenomena kesuksesan demokrasi di negara maju berubah menjadi momok yang menakutkan di negara berkembang.
Jika melihat realitas demokrasi di negara berkembang, kelompok-kelompok minor sebelumnya telah mengingatkan kita bahwa demokrasi akan berjalan dalam realitas politik yang aktual. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia telah merasakan tantangan berat dalam menjalankan satu sistem pemerintahan. Tantangan itu salah satunya datang dari pola multikulturalisme. Robert Kaplan mengemukakan, dalam menemukan fakta bahwa demokrasi tidak menyelamatkan bangsa Afrika adalah masih adanya konflik antar suku, agama, ras dan budaya.
Demokrasi hanya mengandalkan partai politik yang berfungsi sebagai agregasi kepentingan (Interest Aggregation) yang berbasis agama dan kesukuan. Ketika dilaksanakan pemilu yang terjadi justru pertempuran yang berlumuran darah dan bukan arena perebutan kekuasaan yang rasional. Fenomena ini agak berbeda di Indonesia, justru konflik suku dan agama menjadi satu kejadian yang berkepanjangan mengingat pola multikulturalisme itu rentang akan konflik horizontal.
Sejak tahun 1994 Freedom House (FH) telah mencatat tentang suramnya prospek demokrasi ketika dalam laporannya ditemukan sebagian besar ke – 50 negara “tidak bebas”, yakni 49 negara-negara itu memiliki satu lebih dari 3 karakteristik berikut: 1) mereka mengalami populasi mayoritas Muslim dan sering mendapat tekanan-tekanan fundamentalis Islam yang kuat; 2) Mereka mengalami kerasnya perpecahan etnis tanpa sebuah kelompok etnis yang dominan; 3) Mereka memiliki rezim neo-komunis atau pasca komunisme dengan dominasi satu partai politik yang menyebar kuat. Bahkan pada laporan tahun 2002, FH malah menemukan bahwa dunia Islam secara umum gagal membangun rezim.
Jika begitu, apakah Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi merasakan hal tersebut? Bisa iya bisa juga tidak. Jika tantangan demokrasi di Indonesia masing-masing memiliki maksud dan tujuan untuk saling mendominasi tentu catatan FH di atas nyata terjadi. Jika ditarik ke Indonesia, penulis sepakat dari 3 temuan FH di atas secara struktural memang sudah tidak ada tapi tak menampik hal tersebut bergerak secara kultural.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 silam, demokrasi hadir sebagai pelengkap juga berupa kesepakatan yang betul-betul hadir untuk menciptakan keselarasan antar masyarakat. Dengan hadirnya demokrasi kebebasan tak dibatasi lagi tidak seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Bangsa Indonesia banyak memahami bahwa kebebasan yang ditawarkan oleh sistem ini merupakan kebebasan mutlak yang pada akhirnya menggunakan demokrasi sebagai alat untuk saling menjatuhkan.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, suku dan agama tak sebagian dari mereka yang ingin berkontestasi di pemilu hanya menjadikan suku dan agama sebagai objek untuk mendulang suara. Ini pun tragis, setelah mereka mendapatkan suara di bilik suara, mereka enggan lagi untuk berkunjung bahkan tak sedikit dari mereka justru menambah beban, meninggalkan masalah hingga ini diberangus.
Fenomena tersebut memantik kita untuk melihat secara gamblang bagaimana demokrasi berjalan. Tantangan demokrasi yang paling tragis justru datang dari produk-produk demokrasi itu sendiri. Bahkan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama, H.M. Subchan Z.E. pernah mengatakan, “Demokrasi bisa terbunuh oleh lembaga demokratis lewat prosedur yang demokratis”. Di sini, demokrasi akan lumpuh karena produk-produk demokrasi (Elit Politik) itu sendiri
Perilaku para elite politik menjadi anti tesis dari demokrasi yang paripurna, mereka mendaftar karena demokrasi, kampanye atas nama demokrasi, pidato atas nama demokrasi, duduk karena demokrasi, menikmati fasilitas karena demokrasi tapi kebijakan atas kehendak dan kemauan sendiri; habis manis sepah dibuang, kebebasan yang tak mengenal aturan main dipertontonkan.
Mereka menggerayangi dan menikmati demokrasi, tak ubahnya seperti seorang perempuan merengek-rengek meminta pertanggungjawaban atas perlakukannya. Kenikmatan itu diperlihatkan, mereka menikmati rakyat yang tertindas, entah rakyat harus meminta kepada siapa pertanggungjawaban itu. Ini cabul!!! Di mana? Jangan bertanya pada rumput yang bergoyang tapi bertanyalah kepada mereka yang sedang bergoyang-goyang di kursi goyangnya.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung