SUAKAONLINE.COM, Infografis – Berdasarkan variabel kebebasan berpendapat, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) melaporkan bahwa dari tahun 2009 sampai sebelum pandemi, indeks kebebasan berpendapat di Indonesia terus menunjukkan fluktuasi yang cukup dinamis dari tahun ke tahunnya. Namun, sejak Maret 2020 atau pada awal masa pandemi, indeks kebebasan berpendapat mengalami penurunan drastis dari tahun sebelumnya, bahkan mencetak rekor yang terburuk selama 12 tahun terakhir.
Rekor indeks demokrasi ini terjadi karena beberapa sebab yang didukung oleh kasus-kasus pelanggaran kebebasan berpendapat. Beberapa diantaranya adalah adanya ancaman kebebasan berpendapat yang semakin terang-terangan dilakukan oleh aparat, hal ini berdampak pada ketakutan masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya. Kebebasan berorganisasi juga cenderung mengalami regresi, serta ditambah dengan kebebasan dan independensi media yang semakin rentan karena terdampak adanya pemusatan kepemilikan dan intervensi kekuasaan.
Kasus pelanggaran hak kebebasan berpendapat yang terjadi sepanjang pandemi Covid-19 salah satunya adalah represi saat demonstrasi Omnibus Law. Berdasarkan data dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada aksi menyuarakan pendapat para demonstran yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), terjadi 12 kasus perusakan atau perampasan alat liputan para jurnalis, 6 kasus kekerasan fisik, 13 kasus intimidasi, hingga 7 kasus penangkapan para jurnalis.
Di tahun 2021 kasus pelanggaran hak kebebasan berpendapat juga masih terjadi sejak Januari hingga September terakhir. Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tercatat ada 26 kasus mengenai upaya membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilakukan. Beberapa aksi represi diantaranya adalah, penghapusan mural, perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, penangkapan terkait UU ITE, penangkapan kritik kebijakan PPKM, penangkapan beberapa mahasiswa UNS yang membentangkan poster dengan tujuan menyampaikan aspirasi di depan presiden.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia, menjelaskan sejak Juli-Agustus 2021, terdapat 13 kasus persekusi kepada muralist. 13 kasus tersebut terbagi menjadi beberapa isu, yakni 13 tindakan penghapusan mural yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Kemudian, 1 tindakan perburuan pelaku dokumentasi mural yang berujung korban didatangi pihak kepolisian, dan 1 persekusi pembuat konten mural di Tangerang.
Sementara itu, untuk kasus penangkapan secara cara sewenang-wenang tercatat sebanyak 8 kasus penangkapan terkait UU ITE dan 2 kasus penangkapan sewenang-wenang lainnya terkait terkait kritik terhadap PPKM, 3 penangkapan terkait kritik kinerja kepada pejabat. Begitupun kasus yang dialami 10 mahasiswa UNS yang ditangkap aparat terkait aksi pembentangan poster kepada Presiden Jokowi saat berada di Solo untuk menghadiri Forum Rektor se-Indonesia di Auditorium Fakultas Kedokteran UNS.
Berdasarkan data-data tersebut, membuktikan bahwa meskipun hak kebebasan berpendapat sudah dijamin di dalam undang-undang 1945, pada kenyataannya masih banyak terjadi kasus pelanggaran kebebasan berpendapat, khususnya yang dilakukan oleh aparat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu aspek sangat penting untuk menjaga ekosistem di negara demokrasi untuk saling menjaga kepercayaan antara masyarakat dengan pemerintah.
Tindakan pembatasan kebebasan berpendapat, persekusi, dan penangkapan secara sewenang-wenang akan semakin mencederai kehidupan demokrasi di Indonesia. Negara melalui Polri maupun TNI harus tetap mengedepankan prinsip hukum dan HAM, menggunakan cara-cara yang bermartabat dalam merespon persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.
Peneliti : Anis Muflihah/Kontributor
Sumber : bps.go.id, amnesty.id, nasional.tempo.co, kompas.com