Kampusiana

Parade Anti Kekerasan Negara, Mahasiswa Bersuara dalam Aksi Kamisan

Salah seorang peserta aksi memegang poster bertuliskan “Gamma Dibunuh Polisi,” dalam aksi kamisan ke-75 yang bertemakan dengan tema “Parade Anti Kekerasan Negara” di Tugu Kujang, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Kamis (12/12/2024). (Foto: Hanifah Flora/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Para aktivis mahasiswa UIN Bandung menggelar aksi Kamisan ke-75 di Tugu Kujang, Kampus 1 UIN Bandung, Kamis (12/12/2024). Aksi ini sekaligus menjadi momentum untuk memperingati Human Rights Day dengan tema “Parade Anti Kekerasan Negara”.  Dalam aksi tersebut, sejumlah mahasiswa menyerukan perlawanan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus terjadi di Indonesia.

Orasi, Pembacaan puisi, dan penyampaian tuntutan oleh para peserta. Kegiatan tersebut menjadi momen refleksi bagi mahasiswa untuk mengingatkan publik bahwa penegakan HAM di Indonesia masih jauh dari kata diselesaikan. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang lambat diselesaikan menjadi sorotan, seperti pembunuhan aktivis Munir, tragedi Tanjung Priok, hingga kasus terbaru yaitu kasus seorang siswa SMK, Gamma.

Mahasiswa semester tiga Jurusan Hukum Tata Negara UIN Bandung, Riaz mengungkapkan keresahannya terhadap kondisi HAM di Indonesia yang tidak banyak disoroti oleh publik. “Masih banyak lho orang yang peduli terhadap korban-korban. Dengan adanya aksi-aksi kayak gini tuh bisa lebih nyadarin kepada mahasiswa-mahasiswa yang lain ataupun masyarakat yang apatis,” ujarnya.

Dalam orasi, seruan protes terhadap meningkatnya kekerasan aparat negara terhadap warga sipil menjadi salah satu isu utama. Dalam wawancaranya dengan Suaka, Riaz mengungkapkan idealnya apparat penegak hokum yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, kendati demikian aparat justru menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.

“Gamma dibunuh polisi” merupakan tulisan yang ada pada poster yang dilayangkan salah satu peserta aksi, Muhammad Nasrullah untuk mencurahkan kekesalannya atas kasus Gamma. Kasus ini dianggapnya sebagai sesuatu yang menumbuhkan budaya impunitas pada aparat. Baginya, hal ini diperparah dengan istilah “oknum” yang membuat kasus runyam tidak terselesaikan.

Para peserta aksi mendesak pemerintah untuk lebih responsif terhadap suara rakyat, khususnya dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Mereka berharap aksi Kamisan dapat menjadi pengingat bagi pemerintah untuk mendengar aspirasi masyarakat dan memperbaiki penegakan HAM di Indonesia.

Banyaknya tantangan yang dihadapi dalam upaya memperjuangkan penegakan HAM bukan soal yang tidak diketahui para aktivis. Hal tersebut justru membuat para aktivis lebih bersemangat dalam menyerukan penegakan HAM. “Selama pemerintah tetap apatis, perjuangan ini akan terus dilanjutkan. Ini bukan hanya soal keadilan untuk korban, tapi juga tentang hati nurani,” tegas Nasrullah.

Suasana haru tercipta dengan adanya nyanyian dan iringan gitar oleh peserta aksi yang menutup kegiatan ini. Penutup aksi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan menuntut keadilan adalah semangat yang harus terus hidup, meski diiringi rasa duka dan kecewa.

Reporter: Sabrina Nurbalqis/Suaka

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas