Kolom

Real Madrid, Isu Agama dan Sejarah yang (Cenderung) Terulang

Dok. Net

Oleh Nizar Al Fadillah

“History Repeat Itself”  (Karl Marx)

 

Real Madrid (selalu) berhasil menasbihkan diri sebagai kesebelasan terbaik di Eropa. Yang terhangat dan paling prestisius, Los Blancos raih juara Liga Champions 2016/2017 setelah mengkandaskan perjuangan Juventus pada partai final dengan skor 1-4. Pada pertandingan yang dihelat di Stadion Millinium, Sabtu (4/6/17), gol cantik dari Mario Madzukic tak berarti apa – apa karena Si Nyonya Tua yang dikawal Gianluigi Buffon empat kali kebobolan lewat sepasang gol Cristiano Ronaldo, Casemiro dan Marco Asensio.

Berkat kemenangan ini, El Real sukses menjadi raja di kancah Eropa dengan mengoleksi dua belas atau Un Duo Decima trofi liga Champions, meninggalkan jauh AC Milan dengan tujuh trofi, juga Liverpool, Bayern Munchen dan Barcelona yang ‘baru’ mengoleksi lima trofi.

Menukil pemikiran Marx tentang sejarah, bahwa “Sejarah akan mengulang dirinya sendirinya”, capaian Real Madrid tersebut merupakan pengulangan – pengulangan yang pernah terjadi di masa lalu.

Beberapa diantaranya, jelas, raihan trofi Liga Champions. Selain mengulang sejarah karena sudah mengangkat trofi si kuping besar selama 12 kali (dua raihan terakhir dicapai di dua musim berturut–turut), kesebelasan yang bermarkas di Santiago Barnebeu ini menghancurkan mitos yang berbunyi “sejak Liga Champions berubah format pada tahun 1992/1993, belum ada kesebelasan mana pun yang bisa meraih gelar secara berturut – turut”.

Kesebelasan yang berdiri pada 6 Maret 1902 ini mengulang sejarah dengan mengawinkan gelar La Liga dengan gelar liga Champions yang terakhir kali mereka capai pada musim 1957/1958 silam.

Di pencapaian individu, Cristiano Ronaldo kembali mengulang sejarah dengan menjadi top skor Liga Champions selama lima musim berturut – turut, terhitung dari musim 2012/2013. Musim ini di Liga Champions, pemain asal Portugal mencetak dua belas gol, unggul satu gol dari seteru abadinya, Lionel Messi.

Lalu sepasang gol nya di laga final juga suatu pengulangan, karena saat 2008 silam bersama Manchaster United dan 2014 saat sudah berseragam Real Madrid, pemain bernama lengkap Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro ini selalu mencatatkan namanya di papan skor pada laga final Liga Champions yang ia lakoni. Maka agaknya menurut penulis, ‘boleh – boleh saja’ bagi ia untuk terlihat sombong atau pongah, karena memang pencapaian dan prestasinya memang ‘mengizinkannya’ untuk seperti itu.

Dari seluruh pencapaian Real Madrid diatas, tak sedikit bahwa semua yang mereka menangkan saat ini adalah suatu pengulangan sejarah yang penah mereka capai sebelumnya. Maka menjadi sangat tepat dan manis ketika sang kapten, Sergio Ramos mengatakan kesannya setelah menang atas Juventus, bahwa “Kami tengah ‘berkencan’ dengan sejarah”.

 

Kunci Sukses Real Madrid 

Bukan tanpa alasan mengapa Real Madrid menjadi kebelasan yang sangat superior. Salah satunya kuncinya adalah pendekatan taktik yang menyerang. Di tangan dingin pelatih mereka, Zenedine Zidane, Los Blancos menjadi kesebelasan yang produktif dalam urusan mencetak gol. Total, El Meringues mencetak sebanyak 36 gol di perhelatan liga Champions musim dan menjadi kesebelasan terproduktif. Di La Liga, mereka berhasil mencetak 106 gol, hanya kalah dari Barcelona dengan 116 gol.

Pendekatan formasi yang digunakan Zizou, sapaan akrab Zenedine Zidane, memang benar – benar memanfaatkan keunggulan lini serang. Dengan formasi 4-3-3 dengan trio BBC di lini depan atau 4-3-1-2, dengan peran Isco Alarcon sebagai pemain nomor 10 (jika Gareth Bale cedera), membuat lini belakang musuh pasti dihantui ‘kengerian’. Ditambah dengan kualitas para pemain Real Madrid yang ‘kelas wahid’ baik dari pemain inti maupun lapis keduanya, maka pantaslah Real Madrid menjadi tim yang superior. Bahkan, dikutip dari Squawka, Madrid selalu mencetak gol di semua pertandingan yang mereka jalani musim ini. Tak pernah sekalipun El Real membiarkan gawang lawannya menorehkan clean sheet.

 

Dari Liga Champions Menuju Pemilu

Meski memang konteknya sangat berbeda, namun dalam kacamata penulis, ada persamaan antara Liga Champions dengan Pemilihan umum (Pemilu). Persamaan yang terlihat jelas adalah adanya satu pemenang setelah sebelumnya adu-sikut untuk saling mengalahkan. Jika pemenang dalam Liga Champions ditentukan lewat suatu pertandingan dua kali sembilan puluh menit (juga babak tambahan), maka dalam pemilu ditentukan dalam masa kampanye dengan hasil akhir yang ditentukan di dalam bilik suara.

Seperti yang kita tahu, pendekatan taktik dalam sepakbola sangat bermacam rupa, nama dan gayanya, namun pada akhirnya hanya satu yang mereka capai : kemenangan. Real Madrid dengan capaiannya di Liga Champions mengenakan taktik menyerang untuk memenangkan kompetisi terluhur di sejagat eropa tersebut.

Dalam ranah pemilu, adu taktik untuk memenangkan pemilihan juga berbagai macam caranya. Pada masa kampanye, para tim sukses bekerja keras agar pasangan andalannya dapat mencuri hati rakyat, baik lewat orasi penyampaian visi dan misi beserta segelontoran janji – janji, juga tak jarang lewat kampanye hitam dengan menjatuhkan kandidat yang tak dipihaknya dengan berbagai macam isu, seperti isu ekonomi, politik dan agama.

Isu yang terakhir disebut kini di Indonesia menjadi isu utama yang digunakan sebagai ‘senjata utama’ dalam pemilu. Diawali dari Pemilihan presiden 2014 silam yang sudah terendus, isu agama benar – benar ‘berjaya’ dalam pildaka Jakarta beberapa bulan lalu. Apalagi setelah kandidat calon dan wakil calon gubernur Jakarta dikerucutkan menjadi dua pasangan dalam putaran kedua.

Ahok dengan  blunder nya tentang Al-Maidah ayat 51 bak seperti pemain bertahan yang melakukan pelanggaran fatal terhadap lawannya, sehingga itu menjadi momok bagi dirinya sendiri dalam menjalani ‘pertandingan’ di Jakarta. Aksi damai bela Islam yang berjilid – jilid serta tuntuntan – tuntutan memenjarakan Ahok karena menistakan agama adalah segelintir akibat dari kejadian yang Ahok sebabkan di Pulau Seribu September lalu. Meskipun aksi tersebut (aksi damai) selalu disanggah bahwa itu tak ada hubungannya dengan pemilu Jakarta, namun tetap saja, aksi  ini sedikitnya memberi ‘warna’ tersendiri dalam pemilu Jakarta dengan isu agama yang melingkupinya.

Mengutip dari Majalah Tempo edisi bertajuk “Penghuni Baru Balai Kota” dengan laporan utama yang berjudul “Karena Agama Lebih Utama”, dipaparkan bahwa 60 % masyarakat Jakarta memilih Anies-Sandi karena kesamaan agama, sedangkan 25 % lainnya kecewa terhadap Ahok-Djarot karena menggunakan politik uang dengan bagi – bagi sembako gratis.

Maka menjadi benar bahwa isu agama menjadi komoditas dan mengambil peran dalam memenangkan Pilkada Jakarta, ketika Ketua Umum Partai Gerindra, Probowo Subianto mengucapkan terima kasih kepada Rizieq Shihab selaku ketua Font Pembela Islam yang telah melakukan aksi yang menuntut Ahok karena telah menista agama. “Tidak boleh dilupakan, mereka (yang melakukan aksi) tegas memberikan dukungan”, ungkapnya saat memberikan pidato kemenangan Anies-Sandi di kantor Gerindra, Rabu (19/4/2017), masih dinukil dari Majalah Tempo.

 

Giliran Jawa Barat

Liga Champions musim depan akan mulai dihelat pada tanggal 4 Agustus 2017, diawali dengan drawing bagi kesebelesan yang memulai petualangan lewat fase play off. Sedangkan ‘Liga Champions’ lainnya pada ajang Pemilu akan dilaksanakan serentak pada tanggal 27 Juni 2018, yang salah satu dari 171 yang akan menggelar Pilkada serentak tersebut adalah Provinsi Jawa Barat.

Salah satu Provinsi terbesar di Indonesia ini, selain mahsyur dengan ke’sunda’annya, mengutip Pikiran Rakyat, dari laporan Komnas HAM,  Jawa Barat penyandang predikat provinsi paling intoleran di Jawa Barat. Dari 97 kasus pengaduan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang masuk ke komnas HAM di tahun 2016, 21 diantaranya didominasi oleh Provinsi Jawa Barat. Lagi, Jawa Barat mengulang sejarahnya sendiri karena pada 2015 pun ia mendominasi pengaduan serupa dengan total 20 pengaduan.

Meskipun Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub Jabar) terhitung satu tahun lagi, namun penggorengan isu agama sudah terbisik menemani para kandidiat yang akan maju di Pilgub Jabar nanti. Salah satu yang sudah tersambar sengatan isu agama ini adalah Ridwan Kamil.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Adi Marsiela saat menjadi pemantik diskusi yang bertajuk “Ancaman Intoleransi terhadap Ketahanan Bangsa” yang diadakan Meja Indonesia akhir April lalu, memaparkan bahwa isu agama sudah mulai tercium sejak hari ini, Salah satunya tentang isu pembangunan rumah ibadah nonmuslim yang dilakukan oleh Ridwal Kamil, yang merupakan kandidat kuat Calon Gubernur Jawa Barat 2018.

Kang Emil, sapaan akrabnya, mengaku telah difitnah tentang pemberitaan mengenai pemberian izin pendirian 300 tempat ibadah nonmuslim di daerah Bandung (tempo.co , nertalistas.com). Ia berdalih bahwa itu adalah jumlah penerbitan izin rumah ibadah nonmuslim yang ada di kota Bandung semenjak zaman Belanda hingga sekarang.

Padahal pada akhir Januari lalu, tepat ketika ia di daulat sebagai tokoh penggerak Pluralisme (repbulika.co.id , regional.kompas.com), ia mengatakan bahwa selama hampir 5 tahun menjabat sebagai wali kota, ia telah memberikan izin pembangunan 300 rumah ibadah nonmuslim. Ini membuktikan betapa isu agama menjadi momok menakutkan bagi para calon pemimpin daerah agar tidak kehilangan suaranya.

Kemudian, ketika Emil memilih bergabung dengan partai Nasdem sebagai partai penyokong dalam Pilgubnya nanti pada 19 Maret silam, tak sedikit warganet yang mengisi postingan kang Emil di media sosial dengan komentar kekecewaan, karena sang tokoh bergabung dengan partai pendukung “penista agama”.

Pada hakikatnya, dalam sepakbola, melakukan pelanggaran kepada lawan adalah cara yang di ‘halal’ dalam sepakbola, selagi dilakukan huntuk kemengan tim. Namun ketika pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menciderai atau bahkan melukai lawan, itu menjadi pelanggaran yang wajib diganjar kartu merah dan di iringi dengan sanksi berat lainnya.

Pun dalam pemilihan umum, menjadi wajar jika dari kandidat satu ke kandidat lain saling adu sikut untuk menjadi pilihan nomor satu bagi masyaraktnya dengan cara bagaimanapun. Namun ketika salah satu caranya memanfaatkan keberadaan agama, maka sepertinya kekuasaan telah mencederai otak para politikus hingga agama yang bersifat ‘luhur’, dijadikan komoditas untuk mencapai kekuasaan.

Hingga jika kita lanjutan kalimat Marx dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, history repeats itself, ‘the first as tragedy, then as farce (Sejarah akan mengulang dirinya sendiri. Pertama sebagai suatu tragedi, kemudian menjadi lelucon), tausyiah Marx ini sangat menjadi relevan dengan kondisi pemilu di Indonesia dewasa kini. Bahwa penggunaan isu agama untuk menjatuhkan lawan politiknya bisa kita sebut dengan sebuah tragedi, maka jika  terulang di Pilgub Jabar, ini akan menjadi lelucon tak lucu yang bisa kita tertawai.

 

 *Penulis merupakan sekretaris umum LPM Suaka 2016-2017

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas