SUAKAONLINE.COM, Bandung – Puluhan wartawan yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bandung menggelar aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Selasa (3/5/2016). Aksi damai ini digelar dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional (Wolrd Press Freedom Day). Solidaritas Jurnalis Bandung ini terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), dan Wartawan Foto Bandung (WFB).
Ketua WFB, Djuli Pamungkas mengatakan, di kota Bandung, jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperoleh informasi, menyebarluaskan informasi dan berekspresi masih banyak mengalami hambatan-hambatan.
“Saya kira hambatan ini muncul dari teman-teman perusahaannya sendiri, karena kan banyak beberapa hak-hak kami yang belum terpenuhi. Seperti jaminan sosial, jaminan ketenagakerjaan, jaminan sosial, kesehatan, dan yang lainnya,” ujar Djuli.
Dalam aksinya, para jurnalis menuntut agar kasus-kasus intimidasi dan tindak kekerasan yang menimpa para wartawan segera dituntaskan. Solidaritas Jurnalis Bandung menilai intimidasi dan ancaman terhadap Ibenk, pewarta foto inilah.com saat meliput kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Banceuy, pada hari Sabtu (23/4/2016) sebagai salah satu kelalaian negara dalam memenuhi hak warga untuk memperoleh informasi. Pasalnya, intimidasi dan ancaman tersebut dilakukan oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat,
“Pertama, dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional. Kedua, kita menuntut tuntasnya kasus yang khususnya ada di Bandung sendiri, seperti adanya insiden yang menimpa temen kita, Ibenk. Ketiga, adanya pembatasan berekspresi dari kami,” ujar Djuli.
Lebih lanjut, Djuli menyampaikan bahwa masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hak untuk berekspresi. Warga negara bisa terus menuntut negara untuk bebas beragama dan berkeyakinan, berserikat, ataupun untuk mencari penghidupan yang lebih layak. “Apalagi hak-hak mereka untuk mendapatkan informasi, transparansi informasi kadang ditutup sama pemerintah sendiri,” lanjut Djuli.
Djuli mengatakan, angka kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat setiap tahunnya dan kebebasan berekspresi semakin menguat terkait isu-isu sensitif, khususnya isu terkait Tragedi Kemanusiaan 1965 dan Pelanggaran HAM. Polisi yang seharusnya menjamin kebebasan berekspresi setiap warga justru menjadi bagian dari kelompok yang melakukan intimidasi atas upaya warga berekspresi.
“Untuk menyampaikan kebenaran publik itu adalah tugas dan kewajiban kita, karena kita udah dinilai oleh mereka sebagai jurnalis. Dan aksi untuk menyuarakan aspirasi kaya gini pasti akan terus berlanjut, tapi saya harap ada peran aktif dari pemerintah, ada peran aktif dari aparat kepolisian, aparat penegak hukum lah. Kasus-kasus seperti ini harus diusung tuntas, dan harus ada simbiosis mutualisme,” kata Djuli.
Aksi yang berlangsung damai tersebut ditutup dengan pembacaan tujuh poin pernyataan sikap. Poin pertama yaitu, mengutuk segala tindak kekerasan terhadap jurnalis, lembaga, atau pribadi yang menyampaikan ekspresinya. Kedua, menuntut penghentian kekerasan terhadap jurnalis oleh semua pihak.
Ketiga, Polda Jawa Barat diminta segera mengklarifikasi dan mencabut ancaman serta intimidasi terhadap jurnalis oleh anggota Brimob yang bertugas saat kerusuhan Lapas Banceuy. Keempat, menghentikan impunitas dan mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi pada jurnalis.
Kelima, melindungi dan melayani segenap warga negara yang hendak memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dan menyampaikan ekspresinya lewat berbagai media selama tidak bertentangan dengan dasar negara.
Keenam, membuka hak publik untuk selalu memberikan kritik terhadap media massa dengan mengacu pada Undang-undang (UU) Pers. Dan ketujuh, seluruh jurnalis harus menjunjung dan menerapkan kode etik dalam menjalankan tugasnya.
Reporter : Puji Fauziah dan Elya Rhafsanzani / Magang
Redaktur : Edi Prasetyo