Surat Pembaca

Surat Pembaca: Menanggapi Ehsa Tentang Ekstra, Dialektika Mahasiswa Harus Berjalan

(Ilustrasi Foto: Hizqil Fadl Rohman/Suaka)

Saya selalu terkesima, saat Ehsa Nagara memuat tulisan di LPM Suaka. Tentunya, saya mengetahui jika nama Ehsa Nagara hanyalah bentuk nama pena dan bukan sebenarnya nama penulis yang kerap mendapat banyak kecaman, pujian dan perhatian dari khalayak pembaca Suaka. Karena memang penulis ini selalu mengangkat isu-isu tentang ekstra dan segala persoalan kampus.

Awal mula saya dekat dengan tulisan Ehsa, saat ia menyoal tentang dilema kaderisasi di UIN Bandung, satu tulisan yang barangkali dia sendiri memilih untuk tidak bersikap antara membela yang mana, dia telah membuat satu arus, satu gerbong dan barangkali satu mazhab baru dalam dinamika dan persoalan ekstra di kampus UIN Bandung.

Hal itu setidaknya nampak dalam posisinya yang tidak mempersoalkan keberadaan ekstra dan ini yang nampak juga di dalam tulisannya yang berjudul “Mungkinkah Presma Non-Ekstra”, dalam tulisan pertamanya tentang Dilematis Kaderisasi Organ Ekstra – ada kecenderungan jika Ehsa bukanlah seorang yang antipati terhadap ekstra dan secara pasti berada di pihak non-ekstra atau netral.

Dia terbebas dari dikotomi itu dan telah menuduh jika ada golongan ekstra baru (istilah saya sendiri) yang mengatasnamakan netral, tetapi senyata-nyatanya memiliki basis kekuatan sendiri dan menjadi gerakan eksklusif. Hal yang kemudian Ehsa namakan dengan gerakan orang-orang yang mau mengambil “lahan parkir” ekstra.

Di tulisan terbarunya, kecenderungan itu juga nampak nyata dari bagaimana ia bersikap tentang hanya adanya calon Presma (presiden mahasiswa) yang berasal dari ekstra saja, gamblangnya barangkali yang hanya ada dari HMI saja. Tetapi, sejauh ini, dia sendiri tidak apa-apa dengan hal tersebut tetapi ia melampirkan syarat, agar orang yang didistribusikan tersebut telah kemudian teruji secara bibit, bebet dan bobotnya. Setidaknya, saya di sini sependapat dengan seorang penulis yang kadang sinis tersebut.

Namun, ada kecenderungan seolah-olah Ehsa hendak membenturkan antara kelembagaan ekstra dengan mahasiswa non-ekstra, hal ini setidaknya nampak dalam penulisan judul: nampak sekali clickbait dan dia sendiri mempersoalkan kenapa UIN Bandung belum mampu atau belum mau untuk menerapkan sistem pemilihan raya? Kecenderungan ini yang kemudian banyak dikapitalisasi oleh mereka-mereka yang tidak membaca keseluruhan tulisan untuk saling menjatuhkan di kolom komentar Instagram.

Di dalam komentar Instagram, saya justru mendapati kawan-kawan maya ini menyoroti tulisan Ehsa yang seolah-olah anti ekstra, padahal jika ditilik justru Ehsa mendukung agar ekstra dapat memberikan kualifikasi yang jelas terhadap orang-orang yang akan ia distribusikan di intra kampus.

Sayangnya, memang penulis ini malah terjebak dalam narasi yang kurang substansial, ketimbang mengkritisi kinerja Presma UIN Bandung hari ini, atau bahkan kinerja Senat Mahasiswa Universitas hari ini yang bahkan banyak mahasiswanya sendiri tidak mengetahui apakah keberadaan mereka ada atau tidak? Ehsa malah terjebak dalam narasi-narasi ujung jurang yang seolah-olah hanya ingin mendapat atensi saja.

Ehsa Nagara tidak berani untuk mempertanyakan kenapa Senat Mahasiswa Universitas tidak merevisi Konstitusi Keluarga Mahasiswa di periode ini, atau kenapa pelaksanaan Musti Universitas dan Musyawarah Mahasiswa Universitas tidak diselenggarakan hari-hari ini?

Bahkan kenapa Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Bandung tidak jadi melaksanakan kegiatan uji publik terhadap tokoh nasional seperti poster coming soon yang ada di akun instagramnya? Kenapa DEMA UIN Bandung tidak seprogresif tahun-tahun lalu? Tidak ada Gerakan mahasiswa yang bisa dibanggakan dari DEMA dan SEMA Universitas, bahkan barangkali tidak ada langkah konkret yang dilakukan mereka untuk membuat universitas maju.

Ehsa malah terjebak dalam narasi kuno tentang keberadaan ekstra, yang dia sendiri tidak mempersoalkan tersebut. Lucunya pula, penulis pena ini juga tidak memaparkan jika banyak pengurus yang ada dalam Himpunan jurusan hingga universitas yang dia tidak menjadi anggota atau kader ekstra, artinya ada keleluasan bagi mereka yang non-ekstra untuk duduk dan mengambil peran dalam lini jabatan kampus.

Ehsa Nagara, bahkan tidak berani memaparkan, meski saya rasa dia tahu, bahwa di beberapa jurusan ada anak-anak ekstra yang tidak boleh atau istilahnya di cut untuk menjadi pengurus intra kampus oleh mereka yang mengatasnamakan diri sebagai golongan netral.

Hal itu, memang sedikit pernah disinggung Ehsa Nagara, jika misal-katanya, saya mencoba menerjemahkan, jika ekstra tiada di UIN Bandung, maka akan ada entitas lain -sayap jurusan- kata Ehsa, atau UKM atau Organisasi daerah yang mengisi “lahan parkir” yang ditinggalkan ekstra ini, akan berperilaku sama dengan ekstra.

Dan ternyata, di beberapa jurusan hal tersebut nampak. Ini yang luput diperhatikan lebih mendalam di dalam tulisan yang kerap memperoleh atensi luas masyarakat UIN Bandung tersebut. Sayangnya, Ehsa seolah-olah tidak tertarik atau takut mengelaborasi hal tersebut?. Penulis tersebut seolah-olah hanya ingin mencari caper dari khalayak kebanyakan, istilahnya: bad news is good news.

Ironisnya, harapan Ehsa ini bertemu dengan kenyataannya. Setidaknya hal ini nampak dari like dan kolom komentar yang ramai di Instagram Suaka, ketimbang tulisan saya yang hanya mendapat sorotan like kurang dari 300, Ehsa selalu bisa menembus hampir 1.500 like dalam satu postingan Instagram, curhat saja, heheu. Mengerikan!

Walaupun narasi yang ia tawarkan kebanyakannya hanya berisi sinisme terhadap perilaku mereka yang dikatakannya sebagai entitas pengisi demokrasi kampus (saya mencoba menyederhanakan bahasa yang Ehsa gunakan). Hal ini pula memang didukung dengan pilihan paragraf-paragraf tertentu dari tim LPM Suaka sehingga memancing yang lain untuk turut berkomentar dan menaikan engagement Instagramnya.

Meskipun begitu, tujuan dari setiap kepenulisan, saya selalu beranggapan semua selalu bermuara untuk kebaikan. Terlepas dari niatnya seperti apa, tetapi sebagai seorang yang tidak menyepakati deontologi, saya tidak terlalu terpaku pada niat yang baik atau jahat, biarlah yang mengurus hal tersebut hanya Tuhan yang maha tahu.

Yang paling pasti, dalam tulisan terbaru Ehsa Nagara saya memiliki keyakinan, jika banyak warga non-ekstra kampus yang merasa paling pantas mengisi intra kampus tetapi ia tidak mau bertarung guna meraih jabatan sesuai dengan kapabilitasnya.

Bahkan, saya menemui komentar di Instagram Suaka seorang yang merasa dirinya lebih baik dari warga ekstra yang mengisi jabatan intra kampus tidak bisa berkarir di dunia politik kampus karena ia bukan anak ekstra. Sialnya, saya menduga justru orang tersebut terjebak dalam optimisme-chauvinistik yang radikal atau dalam istilahnya anak muda, dia kegeeran!. Karena, jika memang ia mumpuni dan berkapabilitas, sudah jelas dan pasti, ia akan menduduki jabatan sesuai dengan kemampuan dan kapabilitasnya. Jika memang tidak, ya tidak.

Walaupun, pendapat ini tentunya akan memperoleh tentangan dari pembaca lain dan barangkali akan misuh-misuh pula di kolom komentar, hal yang sama yang kemudian saya lakukan saat melihat postingan berisi tulisan Ehsa Nagara yang kerap juga diisi oleh pernyataan tendensius. Tetapi, ketimbang misuh-misuh tidak jelas di dalam kolom komentar, saya mengundang sidang pembaca untuk turut mengirimkan tulisan di surat pembaca Suaka, sehingga diskursus dan dialektika terjadi bukan hanya komentar-komentar penuh caci dan maki, tunjukan intelektualitas mahasiswanya.

Terlepas dari itu, saya pula menyoroti ketidakberanian Ehsa Nagara, entah mengapa sebabnya, yang dia seolah-olah ingin menyenggol kalangan non-ekstra yang mengatasnamakan diri golongan netral tetapi kenetralitasannya ini hanya ditujukan untuk kelompok jurusannya sendiri. Sebut saja, “Casual” di Sosiologi yang dengan gagah mengatakan diri sebagai seorang yang netral tetapi hanya untuk kalangannya sendiri. Ehsa, terlalu takut untuk menyinggung mereka atau beberapa UKM dalam tulisan pertamanya yang pernah menyenggol Ekstra dengan membakar benderanya, dalam hal ini UKM Mahapeka, Ehsa terlalu pengecut untuk secara eksplisit menyebut namanya.

Entah ketakutan apa yang menyelimuti saudara pena itu, apakah ia memang ia seorang pengecut intelektual yang hanya berani pada orang-orang yang inklusif dan demokrat secara pikiran seperti kawan-kawan ekstra? Atau memang ia hanyalah seorang warga UIN Bandung biasa yang memiliki fokus utama pada ekstra saja? Karena, dalam benak masyarakat UIN Bandung, ekstra selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tidak-tidak, hal yang kemudian Ehsa Nagara singgung sebagai implikasi logis dari propaganda media sosial yang kadang tidak sesuai pada realitasnya.

Kampanye di media sosial yang kerap menyinggung ekstra atau Ormawa senyata-nyatanya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Ada beberapa hal yang hiperbola, dilebih-lebihkan untuk mendapatkan punchline sehingga mengundang tawa, namun dalam teori efek pengaruh, pancaran visual yang berlebihan akan menjadi suatu realitas yang diyakini seolah-olah ada. Pram, menyebutnya dengan ungkapan yang lebih manis, bahwa sesuatu yang kita yakini sebagai kebenaran adalah sesuatu yang perlu terus-menerus diperjuangkan agar hal tersebut menjadi benar. Meskipun, dalam realitas objektifnya, jauh panggang daripada api.

Tak sedikit masyarakat UIN Bandung yang merasa ekstra hanya berfokus pada hal-hal yang bersifat pemupukan kader dan perebutan kekuasaan saja. Hal yang sebenarnya tidak Ehsa Nagara setujui, dalam dua tulisannya di LPM Suaka sejauh ini, ia banyak menentang hal tersebut. Meskipun, hal tersebut sepertinya kurang dipahami pembaca lain, karena tadi, Ehsa Negara terjebak dalam kondisi kebingungannya untuk menentukan tulisannya ke mana; ia tidak berpihak pada siapapun dan apapun, tetapi ia membuka arus dan gerbong sendiri.

Dan bagi penulis, hal tersebut tidak salah. Justru saya sepakat, agar iklim dan budaya intelektualitas kembali hidup di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang hari-hari ini seolah-olah kering. Harapan saya, banyak otak terpantik untuk turut mengkritisi, mendukung atau bahkan mencaci, tetapi bukan hanya di kolom komentar tetapi pula dilakukan dengan turut mengkritisi tulisannya melalui tulisan lagi.

Dialektika akan terjadi di sini, pendidikan yang membebaskan dan mendewasakan akan hidup, dengan begitu kita akan hidup dalam multiperspektif, dalam pluralisme pikiran sehingga kita tidak dihegemoni atas suatu pikiran tertentu, finalisasi dogma tak akan terjadi, di sinilah kemudian hidup apa yang kemudian dikenal dengan habits of the heart dari Alex de Tocqueville di mana kemudian demokrasi dalam segala lini akan hidup.

Di mana ciri salah satunya adalah tidak adanya otoritarianisme-pikiran dan demokrasi pikiran tumbuh di dalam toleransi akan menetap dalam kebudayaan dan menjadi etika politik, percakapan mahasiswa yang otentik. Dan tanpa ada embel lain selain berbincang secara tulisan kepada saudara pena Ehsa Nagara, saya menghormati segala bentuk pikiran dan jenis-jenis produk yang lahir dari sana. Salam hormat, salam hangat, Mas atau Mbak.

Mohamad Toha

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

UIN SGD Bandung

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas